A. Definisi
dan Pengukuran
Mendefinisikan perilaku agresif sama saja dengan
mendefinisikan ketunalarasan. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya
definisi tentang perilaku agresif secara baku. Setiap orang dapat menetapkan bahwa
suatu perilaku seorang anak termasuk perilaku agresif setelah mengamati,
mendengar, atau melihatnya. Akhirnya, penetapan perilaku agresif tersebut tidak
sangat bersifat subyektif. Hal tersebut dikarenakan setiap orang memiliki
kriteria tersendiri. Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan atas satu
kriteria perilaku agresif.
Bandura (1973), menetapkan beberapa kriteria
perilaku agresif yang dapat dijadikan sebagai suatu patokan, yaitu :
1. Karakteristik
perilaku ini sendiri (apakah serangan fisik, membuat malu, merusak barang
milik, dan sebagainya), apapun pengaruhnya kepada korban
2. Intensitas
perilaku, di sini perilaku dengan intensitas tinggi (berbicara sangat keras
pada seseorang) dianggapagresif, sedangkan perilaku dengan intensitas rendah
(berbicara pelan – pelan) dianggap tidak agresif
3. Ekspresi
sakit, luka, atau perilaku menghindar dari penderita tindakan
4. Kesengajaan
oleh perilaku
5. Karakteristik
pengamat (misalnya jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, latar belakang etnis,
pengalaman dengan perilaku agresif, dan sebagainya)
6. Karakteristik
perilaku tindakan (misalnya usia, jenis kelamin, pengalaman dengan perilaku
agresif, dan sebagainya)
Beberapa
ahli juga mencoba mendefinisikan ketunalarasan, yaitu :
Ø Applefied
(1987), bahwa agresif ialah tindakan yang disengaja sehingga mengakibatkan atau
mempunyai kemungkinan mengakibatkan penderitaan (fisik atau psikis) pada orang
lain atau kerusakan barang – barang. Definisi ini masih bersifat kabur dan
dapat mempunyai makna luas, sehingga kalau dijadikan kriteria penentuan agresif
dan tidak agresif, aspek subyektifitas sangat tinggi. Tetapi ada satu hal yang
penting yang dikemukakan oleh Applefield, yaitu aspek kesengajaan. Tindakan
yang disengaja untuk menyakiti orang lain, meskipun akhirnya menyakiti orang
lain, dikategorikan sebagai bukan agresif. Yang sulit adalah menentukan apakah
ada unsur kesengajaan atau tidak.
Ø Bandura
(1973), bahwa agresif adalah perilaku yang berakibat pada penderitaan orang
lain dan kerusakan barang atau benda.penderitaan dapat bersifat psikis (dalam
bentuk turunnya harga diri dan kehormatan) maupun fisik. Meskipun formulasi ini
tidak cukup memberi batasan yang bermakna atas fenomena yang dimaksud, harus
ditegaskan bahwa dampak yang tidak menyenangkan bukan satu – satunya
karakteristik atau kriteria agresifitas. Seseorang yang menyakiti orang lain
pada waktu melaksanakan tugas yang mempunyai makna sosial (misalny dokter gigi
merawat gigi atau dokter bedah menimbulkan rasa sakit) tidak dapat dianggap
berperilaku agresif. Demikian juga operator bulldozer yang menghancurkan rumah
dan bangunan dalam rangka pelebaran dan perbaikan jalan. Sebaliknya beberapa
perilaku dapat dianggap agresif, meskipun tidak mengakibatkan penderitaan
seseorang atau rusaknya baranng/benda hak milik. Seseorang yang mencoba melukai
orang lain dengan menembakkan senapan ke arahnya atau memukulnya dengan benda
keras, akan dikategorikan sebagai agresif dan brutal, tembakannya atau
pukulannya tdak mengenai sasaran. Seperti dalam deskripsi tadi, diperlukan
kriteria tambahan untuk membedakan tindakan menyakiti orang secara sengaja dengan
yang tidak sengaja.
Terdapat
beberapa istilah yang erat hubungannya dengan perilaku agresif, yaitu agresif
sendiri, yang pertama adalah assertive (= tegas). Menurut Kauffman (1985),
perilaku agresif sering diartikan sebagai perilaku tegas atau kemauan keras,
sehingga teori psikodinamika menganggap asertif sebagai cara mengekspresikan
dorongan agresif yang wajar dan baik, sedangkan psikologi behavioristik
menganggap perilaku agresif sebagai bagian dari perilaku asertif yang paling
ekstrim jelek dan tidak wajar. Kaitan antara sikap asretif dengan sikap agresif
memang belum dibuktikan, tetapi ada pendapat bahwa sikap asertif merupakan awal
dari sikap agresif, dan sikap asertif ini akan berubah menjadi agresif dengan
dukungan dari lingkungan sekitar. Sebagai contoh, seorang anak meminta permen
kepada orang tuanya, dan orang tuanya memberikan permen yang diminta. Hal ini
akan membuat anak meminta perman lagi. Jika keinginan ersebut tidak dituruti,
maka anak tersebut akan bersikap semakin keras, asertif. Namun jika diberi,
maka anak tersebut akan mendapatkan yang diinginkannya, dan perilaku asesrtif
tersebut akan semakin tinggi (berteriak, marah atau memukul).
Istilah
lain yang juga sering dipakai adalah agresif pasif. Istilah ini sendiri memang
menimbulkan kontroversi, karena tidak mungkin seseorang berperilaku agresif
tetapi pasif, sedangkan definisi agresif sendiri mempunyai implikasi serangan
terhadap orang lain. Pengertian agresif pasif muncul dari teori psikonalisa
dengna asumsi bahwa setiap orang mempunyai instink dan dorongan bawaan agresif
yang harus diekspresikan dengan satu atau beberapa cara (Kauffman, 1985).
Beberapa anak terlalu takut mengekspresikan dorongan agresifnya, sehingga
mereka melakukannya secara pasif. Beberapa karakteristik dari agresif pasif misalnya
keras kepala, suka menunda – nunda, mempersulit, dan sebagainya.
Perilaku
agresif biasanya diukur dengan rating scales atau observasi. Rating scales
bermanfaat dalam proses penyaringan, mengklasifikasikan dimensi perilaku, dan
mengukur hasil intervensi. Tetapi dari segi ketelitian dan kemanfaatan,
observasi lebih unggul dari rating scales. Data yang terkumpul melalui
observasi tidak hanya mendiskripsikan secara kuantitatif pengaruh dari program
intervensi, tetapi juga menunjukkan perilaku yang paling banyak ditemukan pada
anak – anak.
Satu
pertanyaan lagi yang juga sering muncul berkaitan dengan perilaku agresif
adalah perilaku ini konsisten atau hanya pada situasi tertentu (situation
spesifik). Hasil penelitian Olwens (Kauffman, 1985) menunjukkan bahwa perilaku
agresif pada anak laki–laki relatif konsisten dalam berbagai seting sepanjang
waktu. Sedangkan hasil penelitian Harris (Kauffman, 1985) menunjukkan adanya
hubungan antara tingkat tinggi maupun tingkat sedang menunjukkan perilaku
agresif secara konsisten dalam berbagai seting dan waktu. Tetapi anak yang
diamati lebih agresif dari teman sebayanya, kelebihan agresifitas ini tampak
nyata pada waktu bermain.
Berdasarkan
pendapat para ahli maka dapat di simpulkan bahwa perilaku agresif adalah
tingkah laku yang di tunjukan seseorang cenderung bersifat merusak dan
merugikan orang lain serta lingkungan di sekitar mereka secara tidak terkontrol
atau tidak terkendali.
B. Macam
– Macam Perilaku Berbahaya
Patterson, Reid, janod,
dan Conger (Kauffman, 1985) berhasil membandingkan interval terjadinya setiap
jenis perilaku pada anak agresif dan pada anak normal. Hasil penelitian
tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
No
|
Nama Perilaku
|
Deskripsi
|
Interval Kemunculan Dalam Menit
|
|
Anak Agresif
|
Anak Normal
|
|||
1
|
Mencela
|
Mencela
perilaku orang lain dengan kata-kata atau isyarat
|
7
|
2
|
2
|
Negatif
|
Mengatakan
sesuatu yang isinya netral, tetapi cara mengatakannya dengan nada suara yang
negatif
|
9
|
41
|
3
|
Tidak
Patuh
|
Tidak
mengerjakan hal yang diminta
|
11
|
20
|
4
|
Berteriak
|
Berteriak
atau berbicara keras, jika dilakukan terus menerus menjadi tidak enak
didengar
|
18
|
54
|
5
|
Mengejek
|
Mengejek
sehingga mengakibatkan situasi yang tidak enak
|
20
|
51
|
6
|
Aktifitas
Tinggi
|
Kegiatan
yang membahayakan orang lain, terutama jiak dilakukan dalam jangka waktu yang
lama
|
23
|
71
|
7
|
Tindakan
Fisik Negatif
|
Menyerang
atau mencoba menyerang orang lain dengan intensitas tinggi yang dapat
menyakiti
|
24
|
108
|
8
|
Mengeluh
|
Mengatakan
sesuatu dengan nada suara tinggi, mencerca
|
28
|
26
|
9
|
Destruktif
|
Merusak
atau mencoba merusak barang
|
33
|
156
|
10
|
Mempermalukan
|
Mengolok-olok
atau membuat orang lain malu dengan sengaja
|
50
|
100
|
11
|
Menangis
|
Semua
jenis tangis
|
52
|
455
|
12
|
Perintah
Negatif
|
Memerintah
orang lain dengan cara mengancam agar kebutuhannya terpenuhi juga cenderung
bertindak kasar
|
120
|
500
|
13
|
Ketergantungan
|
Meminta
orang lain untuk membantu pada pekerjaan yang sebenarnya mampu dilakukan
sendiri
|
149
|
370
|
14
|
Mengabaikan
|
Mengerti
bahwa orang lain mengarahkan perhatiannya pada anak tetapi anak tersebut
tidak menanggapi secara wajar
|
185
|
244
|
C.
Penyebab Perilaku Agresif
Kauffman
(1985) mengidentifikasi 4 asumsi utama penyebab perilaku agresif, yaitu faktor
biologis, psikodinamika, frustasi-agresif, dan teori belajar sosial.
a. Faktor
biologis
Ada 3 asumsi yang menyebabkan perilaku
agresif:
1. Agresifitas
merupakan perilaku instink keturunan yang kemudian terbentuk melalui proses
evolusi dikendalikan terutama oleh stimulus tertentu. Asumsi tentang semua
orang terlahir agresif perlu dipertanyakan karena tidak didukung oleh
bukti-bukti yang cukup. Hasil penelitian justru menunjukkan bahwa interaksi
seseorang dengan lingkungannya merupakan faktor yang lebih dominan yang
menyebabkan perilaku agresif ini muncul.
2. Perilaku
agresif merupakan respons terhadap kelainan hormon dan susunan biokimiawi
tubuh. Belum ditemukan bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa struktur
biokimiawi tubuh dapt menyebabkan perilaku agresif, meskipun penggunaan obat
dan perubahan hormon memang dapat menyebabkan seseorang agresif.
3. Perilaku
agresif merupakan getaran-getaran elektrik yang terjadi pada system saraf
pusat. Mekanisme otak mempengaruhi perilaku, sehingga agresifitas dapat
disebabkan oleh hasil pengamatan pada kasus gegar otak atau stimulasi elektrik
dan kimiawi pada otak yang dapat menyebabkan perilaku agresif.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa semua jenis
perilaku, termasuk perilaku agresif, melibatkan proses neurologis. Faktor
biologis juga bukan satu-satunya faktor yang mengendalikan perilaku.
b.
Teori psikodinamika
Teori ini membedakan
istilah agresi (aggression) dan
istilah perilaku agresif (aggressive
behavior). Agresi diekspresikan dengan perilaku positif (secara social
dapat dikirim) yang disebut agresif konstruktif, atau perilaku negative (secara
social tidak dapat diterima) yang disebut perilaku agresif destruktif, hal ini
tergantung pada tuntutan lingkungan dan mekanisme pengandali jiwa manusia (ego
dan superego). Sedangkan agresif merupakan sisi negative dari agresi.
Perilaku agresi tidak
selalu menghasilkan perilaku agresif.
c.
Konsep frustasi-agresi
Teori ini diangkat dari
teori psikodinamika. Teori ini mengaitkan perilaku agresif dengan perilaku
lain, yaitu frustasi. Perilaku menurut teori ini, frustasi selalu mengakibatkan
perilaku agresif, dan perilaku agresif selalu bersumber dari kondisi frustasi.
Akan tetapi menurut
hasil penelitian yang dilakukan oleh pendukung psikologi tingkah laku, frustasi tidak selalu mengakibatkan agresif,
dan agresif tidak selalu disebabkan oleh frustasi.
d. Teori
belajar sosial
Menurut teori ini,
suatu pengalaman yang tidak menyenangkan akan meningkatkan suku emosi
seseorang, sedangkan pengetahuan tentang konsekuensi dari suatu perilaku akan
menimbulkan motivasi.
(Diagram Faktor Penyebab Agresi)
Berdasarkan berbagai
hasil penelitian, Kauffman (1985) membuat generalisasi tentang konsep-konsep
teori belajar social mengenai agresi, yakni sebagai berikut:
1. Anak
terbentuk menjadi agresif dengan mengamati model atau contoh. Anak dapat meniru
perilaku agresif yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, yaitu anggota
keluarga, anggota masyarakat, teman sebaya, atau tokoh yang dikenal melaui
media (bacaan, Koran, radio, TV, internet) baik tokoh nyata maupun fiktif.
Perilaku agresif kemungkinan besar ditiru oleh anak jika tokoh tersebut berasal
dari lingkungan sosial yang lebih tinggi. Anak terbiasa melakukan tindakan
agresif ini jika dia merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak menimbulkan
konsekuensi negatif, bahkan menimbulkan konsekuensi positif ( misalnya anak
akan mendapatkan hadiah yang diinginkannya).
2. Perilaku
agresif akan muncul jika anak memperoleh
stimulus yang tidak menyenangkan, kemauannya dihalangi, atau hal-hal yang
disenanginya tersebut direbut atau dikurangi.
3. Faktor
yang mendorong perilaku agresif meliputi penguat eksternal (imbalan) dan
penguat diri (perasaan harga dirinya naik, kebanggaan, kepuasan karena
keinginannya tercapai).
4. Agresi
didukung oleh proses kognitif yang
mengevaluasi tindakan kekerasan.
5. Hukuman
akan meningkatkan perilaku agresif jika tidak disediakan alternatif positif
atas perbuatan yang dihukum tersebut.
Kauffman (1985) menunjukkan bukti-bukti
tentang konsep agresi, antara lain:
1. Melihat
adegan di televisi dapat meningkatkan perilaku agresif pada anak, terutama pada
anak laki-laki.
2. Anak
yang berada pada lingkungan anak nakal akan meningkatkan perilaku agresifnya
melalui proses mencontoh dan meniru.
3. Keluarga
yang memiliki anak agresif umumnya juga menunjukkan tingginya perilaku agresif
pada anggota keluarga yang lain dan pemberian hukuman yang diterapkan oleh
orangtua tidak dilakukan secara konsisten.
4. Agresi juga akan mengakibatkan agresi bagi
orang lain.
Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa agresifitas berkorelasi positif dengan
impulsifitas. Analisa tentang agresi yang dibuat oleh teori belajar social
didukung oleh bukti empiric yang cukup kuat. Perilaku agresif bersumber dari
proses belajar seperti meniru (imitation)
dan penguatan (reinforcement). Teori
belajar social juga merupakan teori yang paling
bermanfaat bagi guru, karena dapt menjadi pedoman dalam mengendalikan
perilaku murud-muridnya.
D.
Perilaku
menyakiti diri sendiri
1. Pengertian
Perilaku menyakiti diri sendiri
(self injuritions behavior/SIB) adalah jenis ketunalarasan yang mungkin
dianggap paling aneh, tidak banyak diketahui, dan mungkin paling menakutkan.
Biasanya dilakukan oleh penyandang tunalaras tingkat berat, yaitu psikotik,
autistik, atau schizopherinik. Mereka dengan sengaja menyakiti diri sendiri
secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk perilaku yang menyebabkan luka
tubuh, seperti menampar mukanya, membenturkan kepalanya, dll. Semua tindakan
tersebut dilakukan dengan intensitas, kecepatan, dan kemauan tinggi (Kauffman,
1985).
2. Penyebab
Sebelum tahun 1960-an, perilaku
menyakiti diri sendiri dianggap merupakan akibat dari gila atau psikotik. Maka
dalam menanganinya mengandalkan penggunaan psikoterapi, obat atau pengekangan
fisik. Setelah dilakukan penelitian yang ekstensif meskipun sporadis, bahwa
mekanisme proses SIB ternyata sama dengan mekanisme proses jenis perilaku
manusia yang lain, dan kemudian menjadi dasar dalam menangani SIB dengan teori
belajar (Hilton, 1987).
Menurut Kauffman (1985) penyebab
SIB diklasifikasikan menjadi 3, yaitu,
Konsep biologis, bahwa perilaku
ini disebabkan oleh kelainan biokimiawi yang dibutuhkan oleh fungsi otak
normal, perkembangan sistem syaraf pusat yang tidak sempurna, pengalaman pahit
dan terisolasi pada masa kecil, masalah syaraf, kekurangpekaan pada rasa sakit,
atau ketidakmampuan tubuh memproduksi zat kimiawi tertentu secara meyakinkan.
Dari pandangan psikodinamika,
perilaku menyakiti diri, atau agresi diri bersumber dari rasa bersalah dan atau
kurang kasih sayang pada waktu kecil. Semua asumsi psikodinamika ini belum
dibuktikan secara empiris.
Sedangkan dari pandangan
behavioristik, ada asumsi spekulatif yang menyatakan bahwa perilaku menyakiti
diri bersumber dari mekanisme kognitif. Hal ini dipengaruhi oleh kebudayaan
self critician (mengkritik diri sendiri) yang menyebabkan tingginya kasus bunuh
diri pada remaja di negara-negara barat. Asumsi yang lain adalah bahwa perilaku
menyakiti diri dapat tebentuk oleh penguat positif. Hal ini berdasar pada
penelitian yang menunjukkan bahwa kera dapat dilatih membenturkan kepalanya
sendiri dengan imbalan seperti melatih jenis perilaku lain. Namun kejadian ini
sangat jarang pada manusia. Satu asumsi lagi menyatakan bahwa SIB adalah salah
satu bentuk perilaku stimulasi diri (self stimulation), ditandai dengan
berulang-ulang, khas, dan tidak berbahaya, yang merupakan upaya memberi umpan
balik pada syaraf. Hal ini karena penyandangnya dapat merespons jenis kegiatan
terapi perilaku yang sama.
Menelusuri penyebab SIB memang
tidak mudah, selain kasus ini memang mempunyai prevalensi yang rendah, penyandangnya
juga sulit diajak berkomunikasi, SIB mungkin disebabkan oleh banyak faktor,
termasuk interaksi antara aspek biologis, dan dorongan dari lingkungan.
3. Pengendalian perilaku menyakiti
diri sendiri
Johnson dan Baumeister (dalam
Kauffman, 1985) mencatat bahwa telah banyak prosedur yang dicobakan untuk
mengendalikan perilaku menyakiti diri sendiri, diantaranya pengekangan fisik,
obat-obatan, pencabutan gigi dan operasi. Terapi yang paling sering dipakai
adalah penggunaan kontingensi antara penguat dan hukuman.
Pada dekade 60-an pendekatan
behavioristik mulai digunakan untuk pengendalian perilaku menyakiti diri
sendiri. Teknik yang dicobakan adalah time out dan gabungan antara tertentu
yang menunjukkan efektifitasnya dalam menurunkan frekuensi munculnya perilaku
tersebut. Namun, pengunaan keduanya pada kasus yang lebih berat ternyata
membahayakan keselamatan anak.
Teknik baru dikembangkan oleh
Lavass dan koleganya pada akhir dekade 60-an (dalam Kauffman, 1985) yaitu
penggunaan electric shock (setrum listrik) sebagai hukuman. Teknik ini berhasil
menghentikan secara langsung SIB, bahkan pada kasus yang berat. Namun mulai
mendapatkan kritikan dari pendukung psikologi behavioristik, karena penggunaan
terbatas pada tempat tertentu dan dapat menimbulkan rasa cemas dan tidak enak
pada tenaga terapi sendiri.
Pada dekade 1970-an, teknik lain
berupa penggunaan kapsul amonia di depan hidung anak atau penyemprotan zat asam
di mulut anak sebagai hukuman atas perilaku menyakiti diri sendiri. Pada kasus
tertentu teknik ini efektif dalam mengendalikan perilaku negatif, namun
nasibnya sama seperti electric shock.
Akhir-akhir ini, seperangkat
prosedur telah dicobakan oleh N. Azrin (Kauffman, 1985). Prosedur ini merupakan
kombinasi dari berbagai teknik yang dulu pernah dicobakan pada anak psikotik
dan tunagrahita untuk mengendalikan perilaku stimulus diri dan autistik, selain
juga pernah digunakan untuk mengendalikan perilaku agresif dan diskriptif.
Penanganan SIB tersebut meliputi; pemberian penguatan positif bagi kegiatan yang
diarahkan ke luar (outward-directed activites), relaksasi wajib (required
relaxation), pengendalian tangan, dan pelatihan pengendalian tangan (hand
avoreness training). Prosedur yang disarankan
oleh Azrin ini telah dicobakan dengan penyandang SIB dengan rentangan
karakteristik yang bervariasi. Dengan hasil yang positif pada saat ujicoba,
prosedur ini akan mempunyai nilai aplikabilitas yang luas.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat di
simpulkan bahwa perilaku agresif adalah tingkah laku yang di tunjukan seseorang
cenderung bersifat merusak dan merugikan orang lain serta lingkungan di sekitar
mereka secara tidak terkontrol atau tidak terkendali.
Yang termasuk perilaku agresif adalah perilaku yang
berakibat pada penderitaan orang lain dan kerusakan barang atau
benda.penderitaan dapat bersifat psikis (dalam bentuk turunnya harga diri dan
kehormatan) maupun fisik.
Terdapat
4 asumsi utama penyebab perilaku agresif, yaitu faktor biologis, psikodinamika,
frustasi-agresif, dan teori belajar sosial.
Perilaku
menyakiti diri sendiri biasanya dilakukan oleh penyandang tunalaras tingkat berat, yaitu psikotik,
autistik, atau schizopherinik yang dengan sengaja menyakiti diri sendiri secara
berulang-ulang dalam berbagai bentuk perilaku yang menyebabkan luka tubuh dan
tindakan tersebut dilakukan dengan intensitas, kecepatan, dan kemauan yang
tinggi.
B.
Saran
1.
Pihak
sekolah dan pihak orang tua harus bekerja sama dalam memahami dan mengerti
keinginan anak agar dapat ditentukan tindakan yang tepat untuk mengendalikan
perilaku agresif dan menyakiti diri anak sendiri
Adanya sarana dan model
pembelajaran khusus bagi anak tunalaras yang diberikan oleh para ahli yang terbiasa menangani anak
tunalaras yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan sifat
ketunalarasan pada anak, sehingga anak mampu mimiliki kepribadian yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar