Kamis, 30 Mei 2013

Perilaku Agresif Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku



A.      Definisi dan Pengukuran
Mendefinisikan perilaku agresif sama saja dengan mendefinisikan ketunalarasan. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya definisi tentang perilaku agresif secara baku. Setiap orang dapat menetapkan bahwa suatu perilaku seorang anak termasuk perilaku agresif setelah mengamati, mendengar, atau melihatnya. Akhirnya, penetapan perilaku agresif tersebut tidak sangat bersifat subyektif. Hal tersebut dikarenakan setiap orang memiliki kriteria tersendiri. Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan atas satu kriteria perilaku agresif. 
Bandura (1973), menetapkan beberapa kriteria perilaku agresif yang dapat dijadikan sebagai suatu patokan, yaitu :
1.    Karakteristik perilaku ini sendiri (apakah serangan fisik, membuat malu, merusak barang milik, dan sebagainya), apapun pengaruhnya kepada korban
2.    Intensitas perilaku, di sini perilaku dengan intensitas tinggi (berbicara sangat keras pada seseorang) dianggapagresif, sedangkan perilaku dengan intensitas rendah (berbicara pelan – pelan) dianggap tidak agresif
3.    Ekspresi sakit, luka, atau perilaku menghindar dari penderita tindakan
4.    Kesengajaan oleh perilaku
5.    Karakteristik pengamat (misalnya jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, latar belakang etnis, pengalaman dengan perilaku agresif, dan sebagainya)
6.    Karakteristik perilaku tindakan (misalnya usia, jenis kelamin, pengalaman dengan perilaku agresif, dan sebagainya)

Beberapa ahli juga mencoba mendefinisikan ketunalarasan, yaitu :
Ø Applefied (1987), bahwa agresif ialah tindakan yang disengaja sehingga mengakibatkan atau mempunyai kemungkinan mengakibatkan penderitaan (fisik atau psikis) pada orang lain atau kerusakan barang – barang. Definisi ini masih bersifat kabur dan dapat mempunyai makna luas, sehingga kalau dijadikan kriteria penentuan agresif dan tidak agresif, aspek subyektifitas sangat tinggi. Tetapi ada satu hal yang penting yang dikemukakan oleh Applefield, yaitu aspek kesengajaan. Tindakan yang disengaja untuk menyakiti orang lain, meskipun akhirnya menyakiti orang lain, dikategorikan sebagai bukan agresif. Yang sulit adalah menentukan apakah ada unsur kesengajaan atau tidak.
Ø Bandura (1973), bahwa agresif adalah perilaku yang berakibat pada penderitaan orang lain dan kerusakan barang atau benda.penderitaan dapat bersifat psikis (dalam bentuk turunnya harga diri dan kehormatan) maupun fisik. Meskipun formulasi ini tidak cukup memberi batasan yang bermakna atas fenomena yang dimaksud, harus ditegaskan bahwa dampak yang tidak menyenangkan bukan satu – satunya karakteristik atau kriteria agresifitas. Seseorang yang menyakiti orang lain pada waktu melaksanakan tugas yang mempunyai makna sosial (misalny dokter gigi merawat gigi atau dokter bedah menimbulkan rasa sakit) tidak dapat dianggap berperilaku agresif. Demikian juga operator bulldozer yang menghancurkan rumah dan bangunan dalam rangka pelebaran dan perbaikan jalan. Sebaliknya beberapa perilaku dapat dianggap agresif, meskipun tidak mengakibatkan penderitaan seseorang atau rusaknya baranng/benda hak milik. Seseorang yang mencoba melukai orang lain dengan menembakkan senapan ke arahnya atau memukulnya dengan benda keras, akan dikategorikan sebagai agresif dan brutal, tembakannya atau pukulannya tdak mengenai sasaran. Seperti dalam deskripsi tadi, diperlukan kriteria tambahan untuk membedakan tindakan menyakiti orang secara sengaja dengan yang tidak sengaja.

Terdapat beberapa istilah yang erat hubungannya dengan perilaku agresif, yaitu agresif sendiri, yang pertama adalah assertive (= tegas). Menurut Kauffman (1985), perilaku agresif sering diartikan sebagai perilaku tegas atau kemauan keras, sehingga teori psikodinamika menganggap asertif sebagai cara mengekspresikan dorongan agresif yang wajar dan baik, sedangkan psikologi behavioristik menganggap perilaku agresif sebagai bagian dari perilaku asertif yang paling ekstrim jelek dan tidak wajar. Kaitan antara sikap asretif dengan sikap agresif memang belum dibuktikan, tetapi ada pendapat bahwa sikap asertif merupakan awal dari sikap agresif, dan sikap asertif ini akan berubah menjadi agresif dengan dukungan dari lingkungan sekitar. Sebagai contoh, seorang anak meminta permen kepada orang tuanya, dan orang tuanya memberikan permen yang diminta. Hal ini akan membuat anak meminta perman lagi. Jika keinginan ersebut tidak dituruti, maka anak tersebut akan bersikap semakin keras, asertif. Namun jika diberi, maka anak tersebut akan mendapatkan yang diinginkannya, dan perilaku asesrtif tersebut akan semakin tinggi (berteriak, marah atau memukul).
Istilah lain yang juga sering dipakai adalah agresif pasif. Istilah ini sendiri memang menimbulkan kontroversi, karena tidak mungkin seseorang berperilaku agresif tetapi pasif, sedangkan definisi agresif sendiri mempunyai implikasi serangan terhadap orang lain. Pengertian agresif pasif muncul dari teori psikonalisa dengna asumsi bahwa setiap orang mempunyai instink dan dorongan bawaan agresif yang harus diekspresikan dengan satu atau beberapa cara (Kauffman, 1985). Beberapa anak terlalu takut mengekspresikan dorongan agresifnya, sehingga mereka melakukannya secara pasif. Beberapa karakteristik dari agresif pasif misalnya keras kepala, suka menunda – nunda, mempersulit, dan sebagainya.
Perilaku agresif biasanya diukur dengan rating scales atau observasi. Rating scales bermanfaat dalam proses penyaringan, mengklasifikasikan dimensi perilaku, dan mengukur hasil intervensi. Tetapi dari segi ketelitian dan kemanfaatan, observasi lebih unggul dari rating scales. Data yang terkumpul melalui observasi tidak hanya mendiskripsikan secara kuantitatif pengaruh dari program intervensi, tetapi juga menunjukkan perilaku yang paling banyak ditemukan pada anak – anak.
Satu pertanyaan lagi yang juga sering muncul berkaitan dengan perilaku agresif adalah perilaku ini konsisten atau hanya pada situasi tertentu (situation spesifik). Hasil penelitian Olwens (Kauffman, 1985) menunjukkan bahwa perilaku agresif pada anak laki–laki relatif konsisten dalam berbagai seting sepanjang waktu. Sedangkan hasil penelitian Harris (Kauffman, 1985) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat tinggi maupun tingkat sedang menunjukkan perilaku agresif secara konsisten dalam berbagai seting dan waktu. Tetapi anak yang diamati lebih agresif dari teman sebayanya, kelebihan agresifitas ini tampak nyata pada waktu bermain.
Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat di simpulkan bahwa perilaku agresif adalah tingkah laku yang di tunjukan seseorang cenderung bersifat merusak dan merugikan orang lain serta lingkungan di sekitar mereka secara tidak terkontrol atau tidak terkendali.







B.       Macam – Macam Perilaku Berbahaya
Patterson, Reid, janod, dan Conger (Kauffman, 1985) berhasil membandingkan interval terjadinya setiap jenis perilaku pada anak agresif dan pada anak normal. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

No
Nama Perilaku
Deskripsi
Interval Kemunculan Dalam Menit
Anak Agresif
Anak Normal
1
Mencela
Mencela perilaku orang lain dengan kata-kata atau isyarat
7
2
2
Negatif
Mengatakan sesuatu yang isinya netral, tetapi cara mengatakannya dengan nada suara yang negatif
9
41
3
Tidak Patuh
Tidak mengerjakan hal yang diminta
11
20
4
Berteriak
Berteriak atau berbicara keras, jika dilakukan terus menerus menjadi tidak enak didengar
18
54
5
Mengejek
Mengejek sehingga mengakibatkan situasi yang tidak enak
20
51
6
Aktifitas Tinggi
Kegiatan yang membahayakan orang lain, terutama jiak dilakukan dalam jangka waktu yang lama
23
71
7
Tindakan Fisik Negatif
Menyerang atau mencoba menyerang orang lain dengan intensitas tinggi yang dapat menyakiti
24
108
8
Mengeluh
Mengatakan sesuatu dengan nada suara tinggi, mencerca
28
26
9
Destruktif
Merusak atau mencoba merusak barang
33
156
10
Mempermalukan
Mengolok-olok atau membuat orang lain malu dengan sengaja
50
100
11
Menangis
Semua jenis tangis
52
455
12
Perintah Negatif
Memerintah orang lain dengan cara mengancam agar kebutuhannya terpenuhi juga cenderung bertindak kasar
120
500
13
Ketergantungan
Meminta orang lain untuk membantu pada pekerjaan yang sebenarnya mampu dilakukan sendiri
149
370
14
Mengabaikan
Mengerti bahwa orang lain mengarahkan perhatiannya pada anak tetapi anak tersebut tidak menanggapi secara wajar
185
244


C.       Penyebab Perilaku Agresif
Kauffman (1985) mengidentifikasi 4 asumsi utama penyebab perilaku agresif, yaitu faktor biologis, psikodinamika, frustasi-agresif, dan teori belajar sosial.
a.     Faktor biologis
Ada 3 asumsi yang menyebabkan perilaku agresif:
1.      Agresifitas merupakan perilaku instink keturunan yang kemudian terbentuk melalui proses evolusi dikendalikan terutama oleh stimulus tertentu. Asumsi tentang semua orang terlahir agresif perlu dipertanyakan karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang cukup. Hasil penelitian justru menunjukkan bahwa interaksi seseorang dengan lingkungannya merupakan faktor yang lebih dominan yang menyebabkan perilaku agresif ini muncul.
2.      Perilaku agresif merupakan respons terhadap kelainan hormon dan susunan biokimiawi tubuh. Belum ditemukan bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa struktur biokimiawi tubuh dapt menyebabkan perilaku agresif, meskipun penggunaan obat dan perubahan hormon memang dapat menyebabkan seseorang agresif.
3.      Perilaku agresif merupakan getaran-getaran elektrik yang terjadi pada system saraf pusat. Mekanisme otak mempengaruhi perilaku, sehingga agresifitas dapat disebabkan oleh hasil pengamatan pada kasus gegar otak atau stimulasi elektrik dan kimiawi pada otak yang dapat menyebabkan perilaku agresif.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa semua jenis perilaku, termasuk perilaku agresif, melibatkan proses neurologis. Faktor biologis juga bukan satu-satunya faktor yang mengendalikan perilaku.

b.    Teori psikodinamika
Teori ini membedakan istilah agresi (aggression) dan istilah perilaku agresif (aggressive behavior). Agresi diekspresikan dengan perilaku positif (secara social dapat dikirim) yang disebut agresif konstruktif, atau perilaku negative (secara social tidak dapat diterima) yang disebut perilaku agresif destruktif, hal ini tergantung pada tuntutan lingkungan dan mekanisme pengandali jiwa manusia (ego dan superego). Sedangkan agresif merupakan sisi negative dari agresi.
Perilaku agresi tidak selalu menghasilkan perilaku agresif.

c.       Konsep frustasi-agresi
Teori ini diangkat dari teori psikodinamika. Teori ini mengaitkan perilaku agresif dengan perilaku lain, yaitu frustasi. Perilaku menurut teori ini, frustasi selalu mengakibatkan perilaku agresif, dan perilaku agresif selalu bersumber dari kondisi frustasi.
Akan tetapi menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh pendukung psikologi tingkah laku,  frustasi tidak selalu mengakibatkan agresif, dan agresif tidak selalu disebabkan oleh frustasi.



d.    Teori belajar sosial
Menurut teori ini, suatu pengalaman yang tidak menyenangkan akan meningkatkan suku emosi seseorang, sedangkan pengetahuan tentang konsekuensi dari suatu perilaku akan menimbulkan motivasi. 



 











(Diagram Faktor Penyebab Agresi)


Berdasarkan berbagai hasil penelitian, Kauffman (1985) membuat generalisasi tentang konsep-konsep teori belajar social mengenai agresi, yakni sebagai berikut:
1.      Anak terbentuk menjadi agresif dengan mengamati model atau contoh. Anak dapat meniru perilaku agresif yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, yaitu anggota keluarga, anggota masyarakat, teman sebaya, atau tokoh yang dikenal melaui media (bacaan, Koran, radio, TV, internet) baik tokoh nyata maupun fiktif. Perilaku agresif kemungkinan besar ditiru oleh anak jika tokoh tersebut berasal dari lingkungan sosial yang lebih tinggi. Anak terbiasa melakukan tindakan agresif ini jika dia merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak menimbulkan konsekuensi negatif, bahkan menimbulkan konsekuensi positif ( misalnya anak akan mendapatkan hadiah yang diinginkannya).
2.      Perilaku agresif  akan muncul jika anak memperoleh stimulus yang tidak menyenangkan, kemauannya dihalangi, atau hal-hal yang disenanginya tersebut direbut atau dikurangi.
3.      Faktor yang mendorong perilaku agresif meliputi penguat eksternal (imbalan) dan penguat diri (perasaan harga dirinya naik, kebanggaan, kepuasan karena keinginannya tercapai).
4.      Agresi didukung oleh proses kognitif  yang mengevaluasi tindakan kekerasan.
5.      Hukuman akan meningkatkan perilaku agresif jika tidak disediakan alternatif positif atas perbuatan yang dihukum tersebut.





Kauffman (1985) menunjukkan bukti-bukti tentang konsep agresi, antara lain:
1.      Melihat adegan di televisi dapat meningkatkan perilaku agresif pada anak, terutama pada anak laki-laki.
2.      Anak yang berada pada lingkungan anak nakal akan meningkatkan perilaku agresifnya melalui proses mencontoh dan meniru.
3.      Keluarga yang memiliki anak agresif umumnya juga menunjukkan tingginya perilaku agresif pada anggota keluarga yang lain dan pemberian hukuman yang diterapkan oleh orangtua tidak dilakukan secara konsisten.
4.       Agresi juga akan mengakibatkan agresi bagi orang lain.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa agresifitas berkorelasi positif dengan impulsifitas. Analisa tentang agresi yang dibuat oleh teori belajar social didukung oleh bukti empiric yang cukup kuat. Perilaku agresif bersumber dari proses belajar seperti meniru (imitation) dan penguatan (reinforcement). Teori belajar social juga merupakan teori yang paling  bermanfaat bagi guru, karena dapt menjadi pedoman dalam mengendalikan perilaku murud-muridnya. 

D.      Perilaku menyakiti diri sendiri

1.      Pengertian
Perilaku menyakiti diri sendiri (self injuritions behavior/SIB) adalah jenis ketunalarasan yang mungkin dianggap paling aneh, tidak banyak diketahui, dan mungkin paling menakutkan. Biasanya dilakukan oleh penyandang tunalaras tingkat berat, yaitu psikotik, autistik, atau schizopherinik. Mereka dengan sengaja menyakiti diri sendiri secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk perilaku yang menyebabkan luka tubuh, seperti menampar mukanya, membenturkan kepalanya, dll. Semua tindakan tersebut dilakukan dengan intensitas, kecepatan, dan kemauan tinggi (Kauffman, 1985).

2.      Penyebab
Sebelum tahun 1960-an, perilaku menyakiti diri sendiri dianggap merupakan akibat dari gila atau psikotik. Maka dalam menanganinya mengandalkan penggunaan psikoterapi, obat atau pengekangan fisik. Setelah dilakukan penelitian yang ekstensif meskipun sporadis, bahwa mekanisme proses SIB ternyata sama dengan mekanisme proses jenis perilaku manusia yang lain, dan kemudian menjadi dasar dalam menangani SIB dengan teori belajar (Hilton, 1987).
Menurut Kauffman (1985) penyebab SIB diklasifikasikan menjadi 3, yaitu,
Konsep biologis, bahwa perilaku ini disebabkan oleh kelainan biokimiawi yang dibutuhkan oleh fungsi otak normal, perkembangan sistem syaraf pusat yang tidak sempurna, pengalaman pahit dan terisolasi pada masa kecil, masalah syaraf, kekurangpekaan pada rasa sakit, atau ketidakmampuan tubuh memproduksi zat kimiawi tertentu secara meyakinkan.
Dari pandangan psikodinamika, perilaku menyakiti diri, atau agresi diri bersumber dari rasa bersalah dan atau kurang kasih sayang pada waktu kecil. Semua asumsi psikodinamika ini belum dibuktikan secara empiris.
Sedangkan dari pandangan behavioristik, ada asumsi spekulatif yang menyatakan bahwa perilaku menyakiti diri bersumber dari mekanisme kognitif. Hal ini dipengaruhi oleh kebudayaan self critician (mengkritik diri sendiri) yang menyebabkan tingginya kasus bunuh diri pada remaja di negara-negara barat. Asumsi yang lain adalah bahwa perilaku menyakiti diri dapat tebentuk oleh penguat positif. Hal ini berdasar pada penelitian yang menunjukkan bahwa kera dapat dilatih membenturkan kepalanya sendiri dengan imbalan seperti melatih jenis perilaku lain. Namun kejadian ini sangat jarang pada manusia. Satu asumsi lagi menyatakan bahwa SIB adalah salah satu bentuk perilaku stimulasi diri (self stimulation), ditandai dengan berulang-ulang, khas, dan tidak berbahaya, yang merupakan upaya memberi umpan balik pada syaraf. Hal ini karena penyandangnya dapat merespons jenis kegiatan terapi perilaku yang sama.
Menelusuri penyebab SIB memang tidak mudah, selain kasus ini memang mempunyai prevalensi yang rendah, penyandangnya juga sulit diajak berkomunikasi, SIB mungkin disebabkan oleh banyak faktor, termasuk interaksi antara aspek biologis, dan dorongan dari lingkungan.

3.      Pengendalian perilaku menyakiti diri sendiri
Johnson dan Baumeister (dalam Kauffman, 1985) mencatat bahwa telah banyak prosedur yang dicobakan untuk mengendalikan perilaku menyakiti diri sendiri, diantaranya pengekangan fisik, obat-obatan, pencabutan gigi dan operasi. Terapi yang paling sering dipakai adalah penggunaan kontingensi antara penguat dan hukuman.
Pada dekade 60-an pendekatan behavioristik mulai digunakan untuk pengendalian perilaku menyakiti diri sendiri. Teknik yang dicobakan adalah time out dan gabungan antara tertentu yang menunjukkan efektifitasnya dalam menurunkan frekuensi munculnya perilaku tersebut. Namun, pengunaan keduanya pada kasus yang lebih berat ternyata membahayakan keselamatan anak.
Teknik baru dikembangkan oleh Lavass dan koleganya pada akhir dekade 60-an (dalam Kauffman, 1985) yaitu penggunaan electric shock (setrum listrik) sebagai hukuman. Teknik ini berhasil menghentikan secara langsung SIB, bahkan pada kasus yang berat. Namun mulai mendapatkan kritikan dari pendukung psikologi behavioristik, karena penggunaan terbatas pada tempat tertentu dan dapat menimbulkan rasa cemas dan tidak enak pada tenaga terapi sendiri.
Pada dekade 1970-an, teknik lain berupa penggunaan kapsul amonia di depan hidung anak atau penyemprotan zat asam di mulut anak sebagai hukuman atas perilaku menyakiti diri sendiri. Pada kasus tertentu teknik ini efektif dalam mengendalikan perilaku negatif, namun nasibnya sama seperti electric shock.
Akhir-akhir ini, seperangkat prosedur telah dicobakan oleh N. Azrin (Kauffman, 1985). Prosedur ini merupakan kombinasi dari berbagai teknik yang dulu pernah dicobakan pada anak psikotik dan tunagrahita untuk mengendalikan perilaku stimulus diri dan autistik, selain juga pernah digunakan untuk mengendalikan perilaku agresif dan diskriptif. Penanganan SIB tersebut meliputi; pemberian penguatan positif bagi kegiatan yang diarahkan ke luar (outward-directed activites), relaksasi wajib (required relaxation), pengendalian tangan, dan pelatihan pengendalian tangan (hand avoreness training). Prosedur yang disarankan  oleh Azrin ini telah dicobakan dengan penyandang SIB dengan rentangan karakteristik yang bervariasi. Dengan hasil yang positif pada saat ujicoba, prosedur ini akan mempunyai nilai aplikabilitas yang luas.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat di simpulkan bahwa perilaku agresif adalah tingkah laku yang di tunjukan seseorang cenderung bersifat merusak dan merugikan orang lain serta lingkungan di sekitar mereka secara tidak terkontrol atau tidak terkendali.
Yang termasuk perilaku agresif adalah perilaku yang berakibat pada penderitaan orang lain dan kerusakan barang atau benda.penderitaan dapat bersifat psikis (dalam bentuk turunnya harga diri dan kehormatan) maupun fisik.
Terdapat 4 asumsi utama penyebab perilaku agresif, yaitu faktor biologis, psikodinamika, frustasi-agresif, dan teori belajar sosial.
Perilaku menyakiti diri sendiri biasanya dilakukan oleh penyandang tunalaras tingkat berat, yaitu psikotik, autistik, atau schizopherinik yang dengan sengaja menyakiti diri sendiri secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk perilaku yang menyebabkan luka tubuh dan tindakan tersebut dilakukan dengan intensitas, kecepatan, dan kemauan yang tinggi.

B.       Saran

1.    Pihak sekolah dan pihak orang tua harus bekerja sama dalam memahami dan mengerti keinginan anak agar dapat ditentukan tindakan yang tepat untuk mengendalikan perilaku agresif dan menyakiti diri anak sendiri
Adanya sarana dan model pembelajaran khusus bagi anak tunalaras yang diberikan  oleh para ahli yang terbiasa menangani anak tunalaras yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan sifat ketunalarasan pada anak, sehingga anak mampu mimiliki kepribadian yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar