Minggu, 23 November 2014

Metode Maternal Reflektif



A.    Pengertian
Metode Maternal Reflektif atau Metode Percakapan Reflektif adalah metode yang sering digunakan ibu sewaktu berbicara dengan bayi yang belum memiliki bahasa. Metode Maternal Reflektif dapat disingkat MMR. Dalam metode ini, bahasa disajikan sewajar mungkin pada anak, baik secara ekspresif maupun reseptifnya dan menuntun anak secara bertahap dapat menemukan sendiri tata bentuk bahasa melalui refleksi terhadap segala pengalaman bahasa. Dr. A. Van Uden berkesimpulan bahwa metode ini adalah metode paling tepat bagi anak tunarungu yang belajar berbahasa lisan.
Sang ibu sering berbicara kepada bayinya yang belum bisa berbahasa, bayinya berusaha meniru bicara ibunya. Sang ibu terus berulang-ulang berbicara, misalnya, “sayai mama”. Bayinya akan berusaha meniru suara ibunya sedikit demi sedikit seiring pertumbuhannya. “ma… ma…” Akhirnya bayi dapat berbicara. Itulah semua adalah cara MMR. Metode ini dapat dijadikan pijakan bagi anak-anak tunarungu untuk belajar berbahasa, berbicara, dan membaca ujaran.
Metode Maternal Reflektif (MMR) adalah suatucara atau proses pemberian pengalaman belajar berbahasa lisan yang mengadopsi cara cara seorang ibu dalam memberikan pemerolehan berbahasa kepada anaknya yang belum berbahasa melalui percakapan. Menurut Bunawan dan Susila (2000:89) “Maternal merupakan suatu proses penguasaan bahasa ibu dengan percakapan sebagai porosnya”

B.     Tujuan MMR
1.      Agar anak tunarungu dapat semakin bersikap oral 
2.     Agar anak tunarungu dapat dan suka mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan curahan hati 
3.      Agar anak tunarungu dapat dan suka membaca sendiri 
4. Agar anak tunarungu dapat berkomunikasi dengan teman sebayanya yang berpendengarannya normal.
Perkembangan penguasaan bahasa dan kemampuan berbahasa anak tunarungu yang menggunakan MMR bersumbu pada percakapan. Setiap hari kita sering berbicara satu sama lain, begitu pula dengan mereka. Yang terpenting adalah percakapan dimulai dengan seorang anak, kita menangkap maksud atau pernyataan anak tersebut, lalu menafsirkan pernyataan dengan cara bertanya. Apabila ada anak salah mengucapkan fonem dan kalimat, kita berusaha membetulkannya.
Usahakan kita sering bertanya, mengundang, mangajak, menentang, bahkan berdebat untuk menimbulkan reaksi spontan dari anak ini sehingga percakapan ada lanjutannya. Percakapan ini akan menghasilkan anak tersebut dapat bersikap oral dengan lancar, artikulasinya jelas, dan berani bergaul, serta mencapai kemampuan berbahasa yang maksimal. Motto dari Metode Maternal Reflektif  adalahApa yang ingin kau katakan , katakanlah saja”

C.    Tahapan-tahapan pelaksanaan
Tahapan-tahapan pelaksanaan Metode Maternal Reflektif dalam pembelajaran, dikelompokkan kedalam tiga tahapan, yaitu :
1.      Percakapan
Percakapan merupakan poros pembelajaran dalam pemberian pengalaman berbahasa kepada anak tunarungu. Percakapan yang dikembangkan pada tahapan awal yaitu percakapan dari hati ke hati, dimana percakapan dilakukan secara wajar dengan menggunakan bahasa sehari–hari, spontanitas guru memposisikan sebagai mitra dialog anak, menggunakan asas provokasi dan asas kontras dalam mengarahan materi percakapan dan memperjelas makna kata yang muncul, menggunakan teknik tangkap dan peran ganda, dan menghadirkan empati dalam memahami apa yang ada dalam perasaan dan pikiran anak
2.      Visualisasi (display)
Visualisasi kosakata baru yang muncul dari hasil percakapan, divisualisasikan baik melaui tulisan dipapantulis maupun melalui penjelasan lisan dan gesti-gesti atau melalui peragaan-peragaan, isyarat, SIBI, dll. Sehingga terjadi pemahaman terhadap makna kata yang muncul tersebut.
3.      Pembuatan (deposit)
Pembuatan deposit, kosakata yang muncul dari hasil percakapan yang telah divisualisasikan dalam papan tulis, kemudian disusun sedemikianrupa sehingga menjadi cerita utuh, biasanya penyusunan kata-kata tersebut disesuaikan dengan kompetensi yang terdapat dalam buku kurikulum atau dijadikan materi pelajaran. Deposit yang disusun biasanya dijadikan bahan-bahan belajar untuk pertemuan berikutnya. Deposit yang disusun dapat dijadikan bahan untuk latihan persepsi bunyi bahasa dan latihan pengucapan.
·           Bahasa dipelajari dalam situasi percakapan :
1.    Seperti percakapan ibu/ayah dengan anak
2.    Inisiatif anak mendapat tempat utama
3.    Termotivasi bercakap terus karena ada tanggapan
4.    Dibimbing oleh naluri

·         Sikap wicara dalam percakapan :
1.      Saling mendengarkan dimana antara anak dan orang tua atau guru saling bergantian dalam berbicara
2.      Timbal balik terjadi komunikasi dua arah tanpa instruksi dari guru atau orang tua
3.     Santai, terbuka, ramah, bercakap dengan perasaan senang sehingga materi percakapan yang didapat     mudah diingat anak
4.      Tatap wajah

·          Memanfaatkan saat yang tepat selama proses belajar bahasa :
1.      Sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
2.      Membahasakan peristiwa/kejadian
3.      Memperkembangkan bahasa dan budaya
4.      Memperkembangkan pengetahuan

Jika diungkapkan yang dipelajari tidak jelas dapat mempergunakan alat bantu atau peraga seperti membuat gambar, menuliskan, memperagakan, dan melihat ke tempat kejadian.
·                Kelebihan Metode Maternal Reflektif antara lain :
1.    Memperlancar komunikasi anak dengan orang lain
2.    Dapat melatih perkembangan bicara anak dan mengurangi penggunaan bahasa isyarat
3.    Cara penyampaian bahasa lebih sistematik

Sabtu, 14 Juni 2014

ASESMEN BAGI ANAK YANG MEMERLUKAN LAYANAN PENDIDIKAN KHUSUS



  1. PENGERTIAN ASESMEN
Asesmen memiliki beberapa pengertian yang pada dasarnya adalah  suatu prosses untuk mengenal dan memahami lebih dalam tentang sesuatu. Menurut Ronald L. Tailor merupakan proses pengumpulan informasi atau data tentang penampilan individu yang relevan untuk mengambil keputusan, sedangkan menurut John Salvia & James E Ysseldyke (1981), asesmen sebagai suatu proses untuk menentukan dan memahami penampilan individu-individu dan lingkungannya.
Pada tahun 1991, Munawir Yusuf mendefinisikan Deteksi kelainan Anak (DKA) sebagai usaha guru dan orang tua untuk mengetahui apakah anak didik memiliki kelainan fisik, mental, emosi, dan sosial.
Kegiatan asesmen memberikan manfaat antara lain :
1.    Untuk mengetahui mengenai identitas anak secara lengkap dan terperinci
2.    Untuk mengetahui tingkat kemampuan dan kebutuhan anak
3.    Pedoman untuk mengklasifikasi dan menyusun program-program kegiatan anak
4.    Pedoman untuk penyusunan program dan strategi pengejaran
5.    Pedoman untuk penyusunan pengajaran individu

Selasa, 25 Maret 2014

karakteristik dan kebutuhan umum anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus



A.    Karakteristik Anak yang Memerlukan Layanan Pendidikan Khusus

Berdasarkan sejarah panjang yang ada, peraturan hukum yang dibuat, serta pendapat para ahli, maka anak berkebutuhnan khusus didefinisikan sebagai “Anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan / kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputimereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional, juga anak-anak yang berbakat dengan inteligensi yang tinggi, dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus / luar biasa, karena memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional.” (Suran dan Rizzo, 1979 dalam Mangunsong, F 2009).
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.

Senin, 10 Maret 2014

Pengembangan Kompetensi Sosial Pada Anak Tunanetra



A.    Perkembangan Kompetensi Sosial pada Anak
Pengembangan kompetensi sosial pada anak merupakan hal yang sangat penting. Berdasarkan hasil berbagai penelitian yang dilakukan dalam rentang waktu tahun 1990-2000 (Parker & Asher, 1987; Hartup & Moore, 1990; Rogoff, 1990; Ladd & Profilet, 1996; McClellan & Kinsey, 1999; Kinsey, 2000 - dalam McClellan & Katz, 2001) menunjukkan bahwa adaptasi sosial dan emosional anak jangka panjang, perkembangan akademik dan kognitifnya, dan kehidupannya sebagai seorang warga negara diperkuat oleh seringnya dia memiliki kesempatan untuk memperkuat kompetensi sosialnya selama masa kanak-kanaknya.
Pellegrini dan Glickman (1991:1) mendefinisikan kompetensi sosial pada anak sebagai "the degree to which children adapt to their school and home environments". Hal ini berarti kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah dan sekolahnya merupakan indikator utama kompetensi sosialnya dan untuk beradaptasi anak harus memiliki seperangkat perilaku verbal dan nonverbal.
Lamb & Baumrind (Budd, 1985) mengemukakan bahwa karakteristik anak yang memiliki kompetensi sosial itu mencakup berkemampuan untuk mempersepsi orang lain,asertif, ramah kepada teman sebaya, dan santun kepada orang dewasa. Dan menurut Benard (1995), kompetensi sosial itu mencakup kualitas-kualitas pribadi seperti bersifat responsif, terutama kemampuan untuk membangkitkan respon positif dari orang lain; fleksibilitas, termasuk kemampuan untuk bergaul dengan orang orang dari bermacam macam latar belakang budaya; kemampuan untuk berempati; keterampilan berkomunikasi; dan memiliki rasa humor.

Sabtu, 08 Maret 2014

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK ( PROJECT BASED LEARNING )



A.    KONSEP/DEFINISI

Pembelajaran Berbasis Proyek (PBP) adalah metode pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.
Menurut Thomas dkk dalam buku Made Weda, pembelajaran berbasis proyek (PBP), merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Dan menurut CORD dkk sebagaimana juga dikutip Made Wena, pembelajaran berbasis proyek adalah sebuah model pembelajaran yang inovatif, dan lebih menekankan pada belajar kontekstual melalui kegiatankegiatan yang kompleks.