Oleh TATI
NURHAYATI
Istilah
autis mulai diperkenalkan oleh Leo Kanner pada 1943. Autis berasal dari kata
auto yang berarti sendiri. Artinya, penyandang autisme asyik dan seakan-akan
berada dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan gangguan proses perkembangan
yang ditandai dengan keterlambatan perkembangan kognitif, konsentrasi,
perilaku, bahasa, motorik, sosial, dan emosi.
Anak
autis akan sulit melakukan kontak mata dengan orang lain. Mereka lebih tertarik
pada benda daripada manusia. Maka, tidak mengherankan melihat anak autis asyik
dengan mainannya daripada ikut bermain dengan teman atau keluarganya. Beberapa
anak autis mempunyai perilaku mengoceh, ekolali (membeo atau meniru ucapan
orang lain), melakukan gerakan motorik yang berulang-ulang (misalnya
mengepak-ngepakkan tangan), menyakiti diri sendiri, atau bahkan menyakiti orang
lain. Sebagian juga mempunyai minat dan kegiatan yang monoton dan hiperaktif
(tidak bisa duduk dengan tenang).
Sampai
sekarang penyebab autisme belum pasti. Namun, beberapa teori mengatakan,
penyebabnya mulai dari faktor genetika (keturunan), infeksi jamur, sampai
virus. Kekurangan nutrisi dan oksigen, polusi udara, air, dan makanan pada saat
kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak bayi yang selanjutnya
memungkinkan terjadinya autisme.
Banyak
orangtua yang mempunyai anak autis bertanya-tanya, "Akan sembuhkah
anakku?". Secara anatomis anak autis mengalami kelainan pada otak sehingga
mengganggu proses perkembangan anak. Kelainan anatomis pada anak autis ini
menurut ilmu kedokteran tidak dapat disembuhkan. Namun, autisme bukan harga
mati untuk para orangtua yang memiliki anak autis. Sebab, seperti halnya anak
normal, anak autis juga memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Tentu saja
proses pengembangannya tidak semudah atau secepat anak normal.
Dengan
beberapa terapi, anak autis memungkinkan berkembang ke arah yang lebih baik.
Perilaku anak autis yang oleh kebanyakan orang anggap aneh pun bisa dikurangi
dan ditangani. Salah satu terapinya adalah terapi perilaku (behavior therapy).
Metode ABA
Terapi
perilaku adalah terapi yang dilaksanakan untuk mendidik dan mengembangkan
kemampuan perilaku anak yang terhambat dan mengurangi perilaku yang tidak
wajar, kemudian menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima masyarakat.
Terapi
perilaku ini merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum patuh (belum bisa
kontak mata dan duduk mandiri) karena program dasar terapi perilaku adalah
melatih kepatuhan. Kepatuhan ini sangat dibutuhkan saat anak-anak akan
mengikuti terapi lain, seperti terapi wicara, terapi okupasi, dan fisioterapi.
Sebab, tanpa kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah berhasil.
Meski demikian, ternyata masih banyak tempat terapi anak autis atau anak
berkebutuhan khusus lain yang tidak menyediakan terapi perilaku sehingga hasilnya
tidak efektif.
Salah
satu metode terapi perilaku adalah metode applied behavior analysis (ABA).
Metode ini dipilih karena memiliki ciri terstruktur, terarah, dan terukur
sehingga memudahkan terapis atau orangtua memantau perkembangan anak. Metode
ABA ini ditemukan oleh seorang psikolog Amerika, O Ivar Lovaas Phd, sehingga
metode ini juga sering disebut dengan metode Lovaas.
Tujuan
metode ini adalah mengubah perilaku. Perilaku yang ditargetkan untuk berubah
selalu dipilih dan dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang.
Norma atau perilaku ini disesuaikan dengan norma yang ada dan berlaku di
masyarakat.
Teknik
pelaksanaan ABA menggunakan pendekatan yang bersifat individual. Satu anak
ditangani satu terapis, bahkan jika diperlukan didampingi juga oleh tenaga
prompting yang membantu anak untuk mengarahkan perilaku yang diinstruksikan
terapis. Dalam pengajarannya, ABA mengambil prinsip operant conditioning dan
respondent conditioning. Perilaku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan
bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem hadiah dan hukuman.
Jika
perilaku yang diinginkan muncul, anak akan diberi hadiah. Apabila yang muncul
adalah perilaku yang tidak diinginkan, anak akan mendapatkan hukuman. Pemberian
hadiah dan hukuman ini akan berpengaruh pada frekuensi munculnya perilaku yang
diinginkan atau tidak diinginkan.
Adapun
program yang diberikan adalah kepatuhan (kontak mata dan dapat duduk saat
belajar), bahasa reseptif, bahasa ekspresif, preakademik, dan bantu diri.
Program ini disesuaikan dengan keadaan anak. Untuk itu, anak yang akan
mengikuti terapi harus diobservasi terlebih dahulu dan dari hasil observasi itu
akan ditentukan program untuk anak tersebut.
Dalam
ABA disarankan waktu terapi adalah 40 jam per minggu. Keberhasilan terapi ini
dipengaruhi beberapa faktor, yaitu berat atau ringannya derajat autisme, usia
anak saat pertama kali ditangani, intensitas terapi, metode terapi, IQ anak,
kemampuan berbahasa, masalah perilaku, dan peran serta orangtua dan lingkungan.
Peran orangtua
Peran
serta orangtua dan masyarakat sangat berpengaruh untuk mendapatkan hasil
maksimal. Jadi, harus ada kerja sama yang harmonis antara terapis dan orangtua.
Jika anak hanya diberi program atau materi terapi di tempat terapi, sedangkan
di rumah tidak diterapkan, upaya itu dipastikan tidak akan berhasil.
Di
Bandung sudah banyak lembaga yang menyediakan terapi perilaku untuk anak autis
atau anak berkebutuhan khusus lain, misalnya down syndrome, mental retardation,
atau cerebral palsy. Beberapa lembaga itu adalah Yayasan Our Dream di Cemara,
Sekolah Khusus Total System di Nataendah (Margahayu), Klinik Tanaya di
Sulanjana, dan Prananda di Kiaracondong. Beberapa rumah sakit juga sudah
menyediakan terapi perilaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar