Jumat, 11 Januari 2013

Pendidikan Khusus Bagi Anak Tunagrahita


BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Pemahaman masyarakat umum mengenai anak berkebutuhan khusus masih sangat minim, kebanyakan mereka menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang tidak memiliki kemampuan apapun. Salah satu dari mereka adalah anak tumagarahita. Anak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata – rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi social. Anak tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal.
Namun walaupun begitu anak tunagrahita juga memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya. Salah satu hak itu adalah mendapatkan pendidikan. Karena selain memiliki hambatan intelektual, mereka juga masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh mereka dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal tersebut diatur dalam UUD’45 pasal 31 ayat 1, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Hal tersebut lebih diperjelas lagi dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat 2, dan pasal 33 ayat 1, menyatakan bahwa warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Oleh karena itu sangat diperlukan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakekat anak tunagrahita?
2.      Apa saja layanan pendidikan bagi anak tunagrahita?
3.      Bagaimana layanan pendidikan anak tunagrahita di indonesia?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui hakekat anak tunagrahita
2.      Mengerti macam-macam layanan pendidikan bagi anak tunagrahita
3.      Mengetahui layanan pendidikan anak tunagrahita di indonesia












BAB II
Pembahasan

1.      Hakikat Anak Tunagrahita
a.       Definisi Anak Tunagrhita
Tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
Menurut Efendi anak tunagrahita adalah “anak yang mengalami taraf kecerdasan yang rendah sehingga untuk meniti tugas perkembangan ia sangat membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus”.
Definisi lain yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan oleh Grossman yang secara resmi digunakan AAMD (American Association of Mental Deficiency) yaitu ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung pada masa perkembangan.
Menurut Hj.T.Sutjihati Somantri, anak tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan, sehingga tidak mencapai perkembangan yang optimal. Sedangkan menurut Bratanata, seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika anak tuna  grahita memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya.

b.      Karakteristik Anak Tunagrahita
Depdiknas (2003) mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita yaitu penampilan fisik tidak seimbang, tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan usianya, perkembangan bicara/bahasanya terhambat, kurang perhatian pada lingkungan, koordinasi gerakannya kurang dan sering mengeluarkan ludah tanpa sadar. Selain itu ada beberapa pendapat dari orang ahli dari seluruh dunia, yaitu:
1.      James D Page yang dikutip oleh Suhaeri H.N (Amin: 1995) menguraikan karakteristik anak tunagrahita sebagai berikut:
a.       Kecerdasan. Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote-learning) bukan dengan pengertian.
b)      Sosial. Dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan memimpin diri. Ketika masih kanak-kanak mereka harus dibantu terus menerus, disingkirkan dari bahaya, dan diawasi waktu bermain dengan anak lain.
c)      Fungsi-fungsi mental lain. Mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, pelupa dan sukar mengungkapkan kembali suatu ingatan. Mereka menghindari berpikir, kurang mampu membuat asosiasi dan sukar membuat kreasi baru.
d)     Dorongan dan emosi. Perkembangan dan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaan masing-masing. Kehidupan emosinya lemah, mereka jarang menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.
e)      Organisme. Struktur dan fungsi organisme pada anak tunagrahita umumnya kurang dari anak normal. Dapat berjalan dan berbicara diusia yang lebih tua dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang indah, bahkan di antaranya banyak yang mengalami cacat bicara.
2.      Menurut The American Association on Mental Deficiency (AAMD, 1983):
Bahwa seseorang anak dikategorikan tunagrahita apabila memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) fungsi intelektual umum (kecerdasannya) di bawah rata-rata secara sigifican (jelas, nyata), ditafsirkan mempunyai tingkat kecerdasan (IQ) 70 atau di bawahnya, (2) mengalami hambatan dalam daptasi tingkah laku sesuai tuntutan budaya dimana ia tiinggal, dan (3) terjadinya selama periode perkembangan mental, yaitu sampai usia kronologis 18 tahun. Dengan demikian, jika anak itu tidak memiliki ketiga karakteristik tersebut atau hanya kurang sedikit dari anak lain yang normal, maka tidak termasuk tunagrahita.
3.      Menurut AAMR (1992):
Tunagrahita merujuk kepada fungsi intelektual umum yang berada di bawah rata-rata secara signifikan (merujuk kepada hasil tes inteligensi individu, berarti skor IQ dua standard deviasi atau lebih di bawah rata-rata) yang berkaitan dengan hambatan dalam perilaku adaptif (merujuk kepada: derajat dimana terpenuhi standard individu dari independensi personal dan respansibilitas sosial yang diharapkan dari umur dan kelompok budaya, atau merujuk kepada 10 keterampilan adaptif, yaitu: komunikasi, merawat diri, kehidupan keseharian, keterampilan sosial, penggunaan komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, waktu luang, dan karya) yang terjadi selama periode perkembangan (dari lahir sampai usia 18 atau 22 tahun).

c.       Klasifikasi Anak Tunagrahita
Ada beberapa klasifikasi anak Tunagrahita yang di ukur melalui IQ:
1)      Tunagrahita Ringan (IQ 51-70)
Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan   kemampuan. Mereka mampu dididik dan dilatih. Misalnya, membaca, menulis,  berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi fisik mereka tidak  begitu mencolok. Mereka mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu  anak tunagrahita ringan tidak memerlukan pengawasan ekstra.
2)      Tunagrahita Sedang (IQ 36-51)
Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan. Begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang.
3)      Tunagrahita Berat (IQ dibawah 20)
Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dair bahaya. Asumsi anak tunagrahita sama dengan anak Idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang dimaksud tergolong dalam tungrahita berat.
2.      Pendidikan Bagi Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu:
1)      Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2)      Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
3)      Pendidikan terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
4)      Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
5)      Pendidikan inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan
6)      Panti (Griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
a.    Pengenalan diri
b.    Sensorimotor dan persepsi
c.    Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain)
d.   Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi
e.    Bina diri dan kemampuan sosial



3.      Pendidikan Anak Tunagrahita di indonesia
Di Indonesia perkembangan pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus dimulai sebelum masa kemerdekaan yaitu dengan berdirinya, untuk pertama kali, Lembaga Penyandang Cacat Tunanetra di Bandung pada tahun 1901. Pada 1927 dibuka sekolah bagi anak tunagrahita di kota yang sama dan pada saat yang hampir bersamaan didirikan sekolah khusus bagi anak tunarungu pada 1930 di Bandung juga.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mengundang-undangkan yang pertama mengenai pendidikan khusus. Mengenai anak- anak yang mempunyai kelainan fisik atau mental , undang – undang itu menyebutkan pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan ( pasal 6 ayat 2 ) dan untuk itu anak –anak tersebut ( pasal 8) yang mengatakan semua anak – anak yang sudah berumur 6 tahun dan 8 tahun berhak dan diwajibkan belajar disekolah sedikitnya 6 tahun dengan ini berlakunya undang – undang tersebut maka sekolah – sekolah baru yang khusus bagi anak – anak penyandang cacat.
Kemudian pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan undang- undang no 20 tentang system pendidikan nasional ( UUSPN ). Dalam undang – undang tersebut dikemukakan hal- hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, beberapa diantaranya sebagai berikut :
·         Bab IV ( pasal 5 ayat 1 ) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,emosionl,mental,intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
·         Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (pasal 32 ayat 1 ) Pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,emosional,mental,sosial atau memiliki potensi kecerdasan.
       Dan untuk anak tunagrahita, di indonesia telah ada berbagai layanan pendidikan yang disediakan agar anak tunagrahita bisa mendapatkan pendidikan seperti halnya anak pada umumnya. Ada berbagai macam layanan pendidikan bagi anak tunagrahita saat ini, contohnya SLB C, sekolah inklusif dan masih banyak lagi. Di Indonesia pendidikan yang inklusif atau menuju inklusif pun terus digencarkan, setidaknya mulai 2001 pendidikan inklusi telah menjadi program Direktorat Pendidikan Luar Biasa yang bertugas untuk mengatur pelaksanaan pendidikan luar biasa tidak hanya di SLB namun juga di sekolah-sekolah reguler, termasuk salah satunya adalah membekali para guru di semua sekolah reguler dengan pengetahuan dan keterampilan layanan bagi anak berkebutuhan khusus. Beberapa sekolah pun baik itu SD, SMP, dan SMA reguler telah ditunjuk menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Walaupun memang dalam pelaksanaannya masih terdapat hambatan.






BAB III
Penutup

A.    Kesimpulan
·         Hakikat dari anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi social sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya.
·         Ada berbagai macam layanan yang dapat diberikan bagi anak tunagrahita, diantaranya yaitu:
1.      Kelas Transisi
2.      Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
3.      Pendidikan Terpadu
4.      Program sekolah di rumah
5.      Pendidikan Inklusif
6.      Panti (Griya) Rehabilitasi
·         Di indonesia pendidikan khusus yang ditujukan bagi anak tunagrahita sudah banyak tersedia di berbagai tempat. Terutama sekolah-sekolah inklusif yang mulai digencarkan mulai tahun 2001 dan saat ini telah dilakukan di seluruh indonesia.
B.     Saran
Masyarakat sebaiknya diberi penyuluhan mengenai sekolah inklusif dan program layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, sehingga orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat dapat memberikan anaknya terapi. Jadi anak yang memerlukan pendidikan khusus seperti anak tunagrahita dapat mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak pada umumnya.

1 komentar: