Anak dengan gangguan motorik atau biasa disebut
dengan istilah anak tunadaksa erat hubungannya dengan anak cacat yang tidak
berguna. Anak-anak tunadaksa (cripple) pada zaman Renaissance pernah disebutnya
sebagai setan (satan) yang disejajarkan dengan makhluk jahat (evil) dan tidak
pantas untuk diberi hidup. Dengan demikian tidak ada artinya sama sekali
keberadaan anak-anak tunadaksa.
Namun dengan
perkembangan, perhatian masyarakat baik di Indonesia maupun dunia mulai
menyadari keberadaan anak tunadaksa atau anak dengan gangguan motorik.
Masyarakat mulai mengakui keberadaan dan mulain menyadari bahwa anak tunadaksa
tersebut memiliki potensi seperti anak normal jika mendapatkan pelatihan atau
pelayanan pendidikan yanng tepat. Oleh karena itu, perkembangan pelayanan
pendidikan yang dipelopori oleh para ahli mulai berkembang di seluruh dunia.
Dr. William John
Little merupakan seoranng ahli ilmu kedokteran yang pertama kali tertarik
meneliti dan menolong anak – anak yang menunjukkan gejala spastik diplegia pada
tahun 1861. Hasil kerja Dr. William John Little kemudian diikuti ahli – ahli
lain, seperti Dr. Sigmund Freud (1883) dan Sir Willian Osler (1889).
Berdirinya rumah sakit yang menerima
pasien-pasien tunadaksa di Boston tahun 1862, yang kemudian menyebar ke
negara-negara lain. Penyebaran perkembangan
pelayanan bagi anak tunadaksa terutama dalam aspek pendidikan di dunia,
diantaranya :
- Di Amerika Serikat, Winthrop Phelps dan Earl Carlson merupakan praktisi di bidang kedokteran yang memelopori pemberian pertolongan dan pelayanan bagi anak tunadaksa. Winthrop Phelps menekankan bentuk bantuan anak tunadaksa pada aspek kedokteran seperti fisioterapi dan penggunaan brances. Sementara Earl Carlson tertarik mengamati anak tunadaksa sejak lahir dan memberikan pertolongan tertentu sesuai dengan kebutuhan anak tunadaksa tersebut baik pada aspek medik maupun aspek sosial psikologis. Meski perhatian pelayanan anak tunadaksa mengalami perkembangan, namun pusat perhatiannya masih tertuju pada kasus – kasus yanng bersifat individual. Tempat pelayanan masih berada di rumah sakit atau di samping klinik – klinik ortopedi tanpa guru khusus untuk tunadaksa. Tidak jelas program pendidikan dan jenjanng pendidikannya. Pada umumnya materi pelajaran yang diajarkan terutama latihan sensomotoris, latihan sosialisasi, dan beberapa bentuk kegiatan praktis ADL (Activity Daily Living). Bahkan anak tunadaksa langsung diberikan latihan vokasional, seperti pendidikan menjahit, fotografi, membuat boneka, hingga reparasi jam. Baru pada tahun 1945 di Amerika Serikat berdiri sekolah swasta yang bernama School of Earl Carlson di Hampton Timur, dan Long Island melengkapi Children’s Rehabilitation Centre di Cockeyville dekat Baltimre di bawah penanggung jawab Winthop Phelps.
- Di Australia, pelayanan pendidikan anak tunadaksa telah dirintis sejak abad ke 18, namun baru berkembang pada tahun 1945 dengan berdirinya Pusat Pelayanan Anak Cerebral Palsydi Adelaide. Perkembangn pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa dipelopori oleh Mr. dan Mrs. Mcleod serta Dr. Claudia Burton sebagai direktur bidang medis yang juga dibantu oleh dua orang dokter sebagai staf. Pada tahun 1946, Pusat Pelayanan Anak Cerebral Palsy dilengkapi dengan sekolah untuk anak Cerebral Palsy (Spastic School) dengan biaya operasional ditanggung oleh “Education Department of New South Wales”. Tidak seluruh peserta didik di Pusat Pelayanan Anak Cerebral Palsy mengikuti pendidikan di sekolah. Hanya peserta didik yang berdasarkan asesmen memungkinkan dapat dikembangkan kemampuannya yang menjadi siswa di sekolah Cerebral Palsy. Terdapat 4 hingga 6 orang peserta didik untuk setiap kelas agar proses pembelajaran efisien. Dalam perkembangannya, sekolah Cerebral Palsy dilengkapikapi dengan Taman Kanak – Kanak Cerebral Palsy (Kindergarten). Pengelolaan Taman Kanak – Kanak Cerebrl Palsy dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anak yang memerlukan alat bantu ambulasi dan kelompok yang tidak memerlukan alat bantu ambulasi. Namun, secara keselurihan, peserta didik mendapatkan pertolonhan dari ahli okupasional dalam hal bimbingan perkembangan fisik dan psikis untuk memperbaiki sikap tubuh dan penyesuaian sosial anak. Perkembangan pelayanan anak tunadaksa di Australia menyebar ke kota – kota lain dengan cepat. Pada umumnya, pendiri pusat – pusat pelayanan anak tunadaksa dimulai oleh pihak swasta atau yayasan. Setelah lembaga dapat berdiri, baru kemudian Departemen Pendidikan Australia membentu biaya penyelenggaraannya. Demikian juga dengan bidang guru khusus, kurikulum, alat – alat pendidikan, dan lain – lain.
- Di Inggris, pertolongan dan pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa dimulai dari kasus – kasus Cerebral Palsy secara individual. Pada tahun 1941, Henry Weston merupakan orang pertama yang memberikan pelayanan dan pertolongan pada anak tunadaksa (Cerebral Palsy), setelah mempelajari cara – cara kerja yang dilakukan oleh Phelps dan Croydon yang sekaligus menyelenggarakan asrama bagi anak – anak tunadaksa. Tahun 1948, jumlah sekolah untuk anak tunadaksa bertambah dua buah, yaitu Westerlea di Edinberg dan Carlson House School di Birmingham. Kedua sekolah tersebut memiliki peranan penting bagi perkembangan pelayanan pendidikan anak tunadaksa terutama Cerebral Palsy di seluruh Inggris sejak dahulu hingga sekarang.
Perhatian
masyarakat di seluruh dunia dengan anak luar biasa semakin mempercepat laju
perkembangan pertolongan dan pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa. Cepat
laju perkembangan tersebut juga terjadi di Indonesia. Perkembangan layanan
pendidikan bagi anak tunadaksa di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan Rehabilitasi Centrum (RC) di Surakarta dibawah naungan Departemen
Sosial dan Departemen Pertahanan yang didirikan oleh Prof. Dr. Soeharso tahun
1946 yang kini bernama Panti Sasana Bina Daksa dan terletak di belakang rumah
sakit Moewardi, Surakarta. Pada mulanya, Rehabilitasi Centrum atau Panti Sasana
Bina Daksa ini memberikan perawatan dan rehabilitasi orang – orang dewasa yang
menderita cidera pada anggota gerak akibat perang (eks-pejuang), seperti
operasi ortopedi, pemberian alat bantu penguat tubuh (orthosis). Semakin lama
pengunjung Rehabilitasi Centrum tidak hanya para eks-pejuang atau korban perang
saja, tetapi juga penderita cacat usia anak – anak, maka pada tanggal 5
Februari 1953 Dr. Seoharso bersaa dengan organisasi ibu – ibu Surakarta
mendirikan Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC) yang bertempat di Jl. Slamet
Riyadi 364, Surakarta. YPAC ini khusus untuk memberikan pertolongan bagi anak
cacat (tunadaksa) usia anak – anak. Pada awalnya YPAC hanya memusatkan
perhatian pada bidang perawatan anak cacat tubuh, akan tetapi dalam
perkembangannya YPAc juga menangani aspek sosial dan pendidikan, termasuk juga
untuk anak Cerebral Palsy. YPAC yang berlokasi di Surakarta akhirnya membuka
cabang di beberapa kota di Indonesia seperti Surabaya, Bandung, Semarang, dan
Jakarta. Pada mulanya YPAC yang berlokasi di Surakarta berstatus sebagai kantor
pusat. Namun setelah kantor pusat YPAC dipindahkan di Jakarta, YPAC Surakarta
berstatus menjadi cabang.
Unit
pendidikan yang dikelola YPAC sebenarnya tidak hanya anak – anak Cerebral Palsy,
melainkan juga anak – anak cacat fisik lain, seperti polio, muscle dystropy,
congenital anomaly, dan lainnya. Menurut kurikulum SLB/D tahun 1977 dan
Kurikulum SLB/D yang disempurnakan tahun 1984, lembaga pendidikan yang khusu
mendidik anak – anak tunadaksa atau Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian D terdiri
atas dua unit, yaitu SLB/D (unit polio) dan SLB/D1 (unit Cerebral
Palsy). Perkembangan terakhir menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia nomor 0126/U/1994 tentang Kurikulum PLB 1994,
maka satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak Cerebral
Palsy termasuk PLB jenis kelainan Ganda.
Pada
tanggal 8 Agustus 1954 dibuka sekolah YPAC mulai dari tingkat Taman Kanak –
Kanak (TK) hingga Sekolah Rakyat yang sekatang telah berubah nama menjadi
Sekolah Dasar (mulai dari kelas 1 hingga kelas 6). SMP YPAC didirikan pada
tahun 1970 dan SMP LB didirikan pada tahun 1977. Kebanyakan anak yang
bersekolah di YPAC menderita polio atau cacat fisik lain dengan intelegasi
normal dan cerebral palsy.
Pada
bidang pendidikan telah terjadi perubahan layanan pendidikan berintegrasi
dengan anak normal dalam kelas dan sekolah. Konsep pendidikan baru ini dimulai
di Scandinavia (1968), kemudian berkembang di Amerika Serikat lalu diikuti oleh
negara – negara lain.
Bentuk
– bentuk pendidikan integrasi dilihat dari bentuk pelaksanaannya adalah sebagai
berikut :
Ø Integrasi
penuh (integrasi fungsional)
ALB dapat mengikuti seluruh bidang
studi di kelas anak – anak normal, tetapi mereka hanya mendapatkan pelayanan
khusus dalam aspek mengatasi jenis dan tingkat kecacatannya.
Ø Integrasi
sebagian (integrasi sosial)
Sebagian bidang studi dapat diikuti
bersama – sama anak normal di kelas biasa dan sebagian diikuti di kelas
sendiri, mereka tetap mendapatkan pelayanan khusus untuk mengatasi masing –
masing jenis dan tingkat kelainan yang disandang.
Ø Integrasi
lokasi (integrasi lingkungan fisik)
ALB dididik bersama – sama dalam
satu gedung yang menjadi satu dengan anak – anak normal, tetapi dalam pelajaran
bidang – bidang studi semuanya terpisah dalam ruangan yang berbeda. Mereka
hanya berada satu lokasi dengan anak normal pada saat – saat istirahat,
upacara, dan kegiatan lain yang sejenis. (M. Amin, 1994)
Kecenderungan
baru dalam konsep pendidikan integrasi bukan berarti sekolah – sekolah khusus
akan ditiadakan. Karena sekolah khusus (TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB) tetapakan
diperlukan bagi anak – anak yang karena kondisinya tidak mungkin diintegrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar