Senin, 10 Maret 2014

Pengembangan Kompetensi Sosial Pada Anak Tunanetra



A.    Perkembangan Kompetensi Sosial pada Anak
Pengembangan kompetensi sosial pada anak merupakan hal yang sangat penting. Berdasarkan hasil berbagai penelitian yang dilakukan dalam rentang waktu tahun 1990-2000 (Parker & Asher, 1987; Hartup & Moore, 1990; Rogoff, 1990; Ladd & Profilet, 1996; McClellan & Kinsey, 1999; Kinsey, 2000 - dalam McClellan & Katz, 2001) menunjukkan bahwa adaptasi sosial dan emosional anak jangka panjang, perkembangan akademik dan kognitifnya, dan kehidupannya sebagai seorang warga negara diperkuat oleh seringnya dia memiliki kesempatan untuk memperkuat kompetensi sosialnya selama masa kanak-kanaknya.
Pellegrini dan Glickman (1991:1) mendefinisikan kompetensi sosial pada anak sebagai "the degree to which children adapt to their school and home environments". Hal ini berarti kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah dan sekolahnya merupakan indikator utama kompetensi sosialnya dan untuk beradaptasi anak harus memiliki seperangkat perilaku verbal dan nonverbal.
Lamb & Baumrind (Budd, 1985) mengemukakan bahwa karakteristik anak yang memiliki kompetensi sosial itu mencakup berkemampuan untuk mempersepsi orang lain,asertif, ramah kepada teman sebaya, dan santun kepada orang dewasa. Dan menurut Benard (1995), kompetensi sosial itu mencakup kualitas-kualitas pribadi seperti bersifat responsif, terutama kemampuan untuk membangkitkan respon positif dari orang lain; fleksibilitas, termasuk kemampuan untuk bergaul dengan orang orang dari bermacam macam latar belakang budaya; kemampuan untuk berempati; keterampilan berkomunikasi; dan memiliki rasa humor.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial pada anak adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungannya, yang ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mempersepsi orang lain secara tepat, asertif, responsif, berempati, memiliki rasa humor, ramah kepada teman sebaya dan santun kepada orang dewasa.
Perkembangan kompetensi sosial dimulai pada saat kelahiran dan maju dengan pesat pada usia prasekolah (McClellan & Katz, 2001). Dia akan meniru orang dan merespon gerakan yang serupa dari orang dewasa atau anak yang lebih besar.
Sosialisasi anak tidak hanya difasilitasi oleh orang tuanya, tetapi juga oleh keseluruhan konteks keluarga yang dapat mencakup saudara-saudara dan teman-teman yang mendukung orang tua dan anak itu, yang selanjutnya memperkuat nilai-nilai budaya yang ditanamkan pada diri anak.
Berdasarkan penelitian Baumrind (Oden, 1987; Moore, 1992; Darling, 1999) pada masa perkembangan anak, orang tua menggunakan bermacam-macam metode kontrol dan gaya kepemimpinan dalam manajemen keluarga (yang selanjutnya disebut “gaya asuh”), yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: (1) authoritarian (dengan tingkat kontrol yang tinggi); (2) authoritative (dengan otoritas atas dasar pengetahuan dan memberi pengarahan); (3) permissive (dengan tingkat kontrol ataupun pengarahan yang rendah); atau kombinasi dari gaya-gaya asuh tersebut.
Ketika anak sudah mulai berjalan, dia masuk ke dalam konteks teman sebaya, yang memberinya kesempatan untuk belajar berinteraksi dan mengembangkan pemahaman tentang orang lain. Dalam konteks rumah, lingkungan tetangga dan sekolah, anak belajar membedakan bermacam-macam hubungan teman sebaya (peer relationships) – sahabat (best friends), teman bergaul (social friends), teman dalam kegiatan tertentu (activity partners), kenalan, dan orang asing (strangers). Dengan membangun dan memelihara berbagai macam hubungan teman sebaya dan pengalaman sosial, terutama melalui konflik teman sebaya (peer conflict), anak memperoleh pengetahuan mengenai dirinya versus orang lain dan belajar berbagai keterampilan interaksi sosial.
Oden (1987) menemukan bahwa anak prasekolah kurang mampu membedakan antara sahabat dan sekedar teman dibanding anak usia sekolah, tetapi mereka mempunyai alasan yang spesifik mengapa tidak suka berinteraksi dengan teman tertentu. Di kalangan anak-anak prasekolah dan tahun-tahun pertama usia sekolah, ekspektasi untuk persahabatan itu berpusat pada kesamaan minat dan hubungan timbal-balik yang konkret.

B.     Peranan Orang Tua dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
Para teoris dan peneliti tentang perkembangan anak sepakat bahwa orang tua memainkan peranan yang formatif dalam sosialisasi anak. Ketika mobilitas dan bahasa anak sudah memungkinkannya untuk mengeksplorasi lingkungannya secara aktif, orang tua mulai memberikan berbagai pelajaran kepada anak mengenai cara dunia sosial beroperasi dan perilaku yang diharapkan oleh dunia sosial itu dari anak. Pelajaran tersebut diarahkan untuk membantu anak belajar memiliki kompetensi sosial – yaitu perseptif terhadap orang lain, kooperatif, asertif, ramah kepada teman sebaya, dan santun kepada orang dewasa. Pada saat ini salah satu tugas yang dihadapi orang tua adalah memperkenalkan anak kepada kelompok teman sebayanya.
Dari hasil penelitiannya, Baumrind mengidentifikasi empat gaya asuh yang berbeda-beda, yaitu authoritarian, permissive, authoritative, dan uninvolved, yang masing-masing berimplikasi terhadap kompetensi sosial anak dalam kaitannya dengan teman sebayanya dan orang dewasa. Baumrind mengidentifikasi dua dimensi asuh utama, yaitu: parental responsiveness dan parental demandingness.
Parental responsiveness (dimensi asuh responsif – juga disebut parental nurturance) adalah dimensi di mana orang tua secara sadar memupuk perkembangan individualitas anak, membiarkannya mengatur diri dan menampilkan dirinya sendiri, dan dimensi ini diwujudkan dengan senantiasa mendengarkan, mendukung dan memenuhi kebutuhan khusus dan tuntutan anak. Parental demandingness (dimensi asuh penuh tuntutan – juga disebut parental control) adalah dimensi di mana orang tua menuntut anaknya untuk terintegrasi ke dalam keutuhan keluarga, dengan menuntut agar anak menunjukkan kematangannya, mengawasinya, mendisiplinkannya, dan mengkonfrontasinya bila anak tidak menunjukkan kepatuhan.
·         Authoritarian
Orang tua dengan gaya asuh otoriter cenderung rendah dalam dimensi responsifnya dan tinggi dalam dimensi tuntutannya. Orang tua ini menciptakan lingkungan yang terstruktur dan tertata rapi dengan aturan-aturan yang jelas. Mereka menetapkan standar yang absolut untuk perilaku anaknya, menerapkan disiplin yang ketat dan menuntut kepatuhan yang segera, serta kurang menggunakan metode persuasi.
·         Permissive
Orang tua yang permisif cenderung moderat hingga tinggi dalam dimensi responsifnya tetapi rendah dalam dimensi tuntutannya. Orang tua dengan gaya asuh ini menerapkan relatif sedikit tuntutan kepada anaknya dan cenderung inkonsisten dalam menerapkan disiplin. Mereka selalu menerima impuls, keinginan dan perbuatan anaknya, dan cenderung kurang memonitor perilaku anaknya. Meskipun anaknya cenderung ramah dan mudah bergaul, tetapi mereka kurang memiliki pengetahuan tentang perilaku yang tepat untuk situasi sosial pada umumnya dan kurang bertanggung jawab atas perilakunya yang salah.
·         Authoritative
Orang tua yang otoritatif tinggi dalam dimensi responsifnya dan moderat dalam dimensi tuntutannya. Orang tua dengan gaya asuh ini memonitor dan menetapkan standar yang jelas bagi perilaku anaknya, bersifat asertif, tetapi tidak intrusif ataupun restriktif. Metode pendisiplinan yang diterapkannya bersifat suportif, tidak menghukum. Mereka menginginkan anaknya menjadi asertif dan memiliki tanggung jawab sosial, dan mampu mengatur dirinya sendiri (self-regulated) serta kooperatif.
·         Uninvolved
Orang tua dengan gaya asuh “tak peduli” (uninvolved) rendah dalam dimensi responsifnya maupun dimensi tuntutannya. Dalam kasus yang ekstrim, orang tua ini akan mengabaikan anaknya atau bahkan menolak kehadirannya, meskipun sebagian besar orang tua dengan tipe gaya asuh ini termasuk ke dalam kategori orang tua yang normal.
Gaya asuh orang tua telah ditemukan dapat memprediksi pencapaian anak dalam ranah kompetensi sosial maupun dalam beberapa ranah lainya termasuk kinerja akademik, perkembangan psikososial, dan perilakunya. Anak dan remaja yang orang tuanya otoritatif memiliki kompetensi sosial maupun kompetensi instrumental (kinerja akademik) yang lebih tinggi daripada mereka yang orang tuanya nonotoritatif. Kemudian anak dan remaja dari keluarga yang permisif cenderung terlibat dalam perilaku bermasalah dan kurang baik dalam kinerja sekolahnya, tetapi mereka menunjukkan harga diri yang lebih tinggi, keterampilan sosial yang lebih baik, dan tingkat depresi yang lebih rendah.
Anak dan remaja dari keluarga otoriter cenderung moderat dalam kinerja sekolahnya dan tidak terlibat dalam perilaku bermasalah tetapi mereka menunjukkan keterampilan sosial yang kurang baik, harga diri yang lebih rendah, dan tingkat depresi yang lebih tinggi. Dan anak dan remaja yang orang tuanya tak peduli adalah yang paling buruk kinerjanya dalam kedua ranah kompetensi tersebut.

C.     Peranan Hubungan Teman Sebaya dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
Kasus 1 adalah anak perempuan dengan ketunanetraan berat, anak pertama dari dua bersaudara. Mereka tinggal di dalam kelompok perumahan keluarga yang bebas dari lalu-lintas umum.
Dia lebih suka di rumah karena di rumah ada banyak teman dan banyak mainan”. Dia mengaku mempunyai banyak teman bergaul di lingkungan sekitar rumahnya, Ini tampaknya menunjukkan bahwa dia mampu bergaul dan dapat diterima dengan baik di kalangan teman-teman sebayanya yang awas. Ketika ibunya ditanya faktor-faktor apa yang menurutnya mungkin mempengaruhi penerimaan sosial yang baik itu, dia menyebutkan sifat Kasus 1 yang periang, memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk berinisiatif dalam interaksi sosial, pandai menyanyi, dan memiliki keterampilan akademik (terutama dalam bahasa dan berhitung) yang lebih baik daripada teman-teman bermainnya. Di samping itu, dia mempunyai sifat tenggang rasa yang tinggi, “Mungkin karena dia takut kehilangan teman bermain”.
Dia sudah terorientasi dengan baik di dalam rumah dan sekitarnya sehingga mampu bergerak mandiri secara leluasa – hal ini juga dikonfirmasi oleh ibunya. Dia bahkan menceritakan bahwa dia sering disuruh ibunya pergi ke warung di dekat rumahnya “untuk membeli pecin”. Dalam bermain, dia hanya mengikuti permainan congklak.
Dalam permainan lainnya Kasus 1 lebih banyak berfungsi sebagai “penggembira”. Hal tersebut dikarenakan dia belum mengetahui jenis permainan terstruktur di mana anak tunanetra dan anak awas dapat sama-sama berpartisipasi secara penuh. Tetapi hal yang sangat baik dari teman-temannya. Teman-temannya selalu memberi kesempatan kepadanya untuk sejauh tertentu turut terlibat dalam permainan-permainan itu. Jenis interaksi di mana dia dapat berperan secara penuh adalah kegiatan bermain fantasi. Dia sering bermain “anjang-anjangan”, di mana dia sering berperan sebagai ibu atau sebagai guru, atau sebagai murid bila anak lebih besar berpartisipasi. Selain itu dia sering bermain sepeda di halaman rumahnya dan pergi mengaji ke mesjid. Untuk masalah gangguan, tidak pernah ada teman yang mengganggunya. Hanya saja temannya selalu bertanya mengapa ia tidak bisa melihat, dan ibunya menjelaskan padanya jika dia ditanyai seperti itu dia bisa menjawab “Tuhan menciptakan bermacam-macam orang, ada yang dapat melihat, ada yang tidak, tetapi Tuhan juga memberikan kelebihan dalam hal lain untuk mengatasinya.”

a.       Konsekuensi dari Buruknya Hubungan Teman Sebaya
Berbagai studi menemukan bahwa isolasi atau penolakan oleh teman sebaya pada masa dini kehidupan anak menempatkan anak pada resiko untuk menghadapi masalah-masalah sosial dalam kehidupannya di kemudian hari. Penelitian oleh Gronlund, Hymel dan Asher (Ladd & Asher, 1985) mengindikasikan bahwa antara 6 hingga 11% anak di kelas tiga hingga kelas enam tidak mempunyai teman di kelasnya. Ladd & Asher mengemukakan bahwa perasan kesepian merupakan satu masalah signifikan yang dapat berakibat negatif bagi anak kecil, baik segera maupun jangka panjang. Bullock mengamati bahwa anak yang merasa kesepian sering tidak memiliki hubungan sosial yang baik dengan teman sebayanya dan oleh karenanya lebih sering menunjukkan ekspresi kesepian daripada teman sebayanya yang mempunyai sahabat.
Penelitian Koch (Ladd & Asher, 1985) terhadap anak-anak prasekolah menemukan bahwa anak yang disukai oleh teman-teman sekelasnya lebih baik kemampuannya untuk mentoleransi rutinitas dan tugas-tugas sekolah daripada anak yang tidak populer di kalangan teman-temannya. Dalam penelitian oleh Buswell dan Kohn (Ladd & Asher, 1985), ditemukan bahwa anak-anak yang populer pada kedua tingkatan usia tersebut adalah paling tinggi pula kemungkinannya untuk berprestasi tinggi dalam pelajarannya.
Anak yang tidak mampu membina pertemanan yang memuaskan juga akan merasa terpencil dan tidak bahagia (Asher et al., 1984 - dalam Bullock, 1998). Bagi anak-anak ini, sekolah akan merupakan tempat yang tidak menyenangkan, dan akibatnya mereka dapat sering membolos atau putus sekolah sama sekali (Kupersmidt, 1983 – dalam Burton, 1986).
Dalam sebuah studi retrospektif, Kohn dan Clausen (Ladd & Asher, 1985) menemukan bahwa sampel orang dewasa yang mengalami gangguan kesehatan mental dibanding kelompok kontrol yang normal, cenderung menggambarkan dirinya sebagai terpencil atau tidak mempunyai teman pada usia 13 atau 14 tahun. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan dengan jelas bahwa hubungan antarteman sebaya pada masa kecil itu sangat besar kontribusinya terhadap keefektifan fungsi individu pada masa-masa kehidupan selanjutnya.

b.      Kontribusi Hubungan Teman Sebaya terhadap Kompetensi Sosial Anak
Hubungan dengan teman sebaya tampak mempunyai berbagai macam fungsi. Melalui hubungan teman sebaya, anak memperoleh kesempatan untuk belajar keterampilan sosial yang penting untuk kehidupannya, terutama keterampilan yang dibutuhkan untuk memulai dan memelihara hubungan sosial dan untuk memecahkan konflik sosial, yang mencakup keterampilan berkomunikasi, berkompromi, dan berdiplomasi (Asher et al., 1982 - dalam Burton, 1986)
Combs dan Slaby (Budd, 1985) menemukan bahwa hubungan teman sebaya yang baik secara konsisten terkait langsung dengan dimensi keramahan, partisipasi, pengayoman (nurturance), kemurahan hati, dan responsif dalam interaksi teman sebaya
Di samping itu, anak yang banyak melibatkan dirinya dengan teman sebayanya juga dapat memperoleh kesempatan untuk membangun rasa percaya diri sosial (social self-confidence (Burton, 1986).
Hartup (1992) mengidentifikasi empat fungsi hubungan teman sebaya, yang mencakup:
1.      Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (emotional resources), baik untuk memperoleh rasa senang maupun untuk beradaptasi terhadap stress;
2.      Hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (cognitive resources) untuk pemecahan masalah dan perolehan pengetahuan;
3.      Hubungan teman sebaya sebagai konteks di mana keterampilan sosial dasar (misalnya keterampilan komunikasi sosial, keterampilan kerjasama dan keterampilan masuk kelompok) diperoleh atau ditingkatkan; dan
4.      Hubungan teman sebaya sebagai landasan untuk terjalinnya bentuk-bentuk hubungan lainnya (misalnya hubungan dengan saudara kandung) yang lebih harmonis. Hubungan teman sebaya yang berfungsi secara harmonis di kalangan anak-anak prasekolah telah terbukti dapat memperhalus hubungan antara anak-anak itu dengan adiknya.
Sebagai sumber kognitif, hubungan teman sebaya memungkinkan anak untuk saling mengajari dalam banyak situasi, dan pada umumnya kegiatan ini efektif. Hartup (1992) mengidentifikasi empat jenis pengajaran antarteman sebaya, yaitu
1.       Peer tutoring
Yaitu transmisi informasi secara didaktik dari satu anak ke anak lain, biasanya dari “ahli” kepada “pemula”
2.        Cooperative learning
Yaitu cara belajar yang menuntut anak untuk saling berkontribusi dalam pemecahan masalah dan berbagi imbalannya
3.       Peer collaboration
Yaitu pemula yang bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas yang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri
4.       Peer modeling
Yaitu transmisi informasi melalui peniruan antarteman sebaya

D.    Peranan Kegiatan Bermain dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
Kegiatan bermain merupakan salah satu bentuk interaksi utama antarteman sebaya di kalangan anak-anak. Penelitian yang dilakukan oleh Pellegrini (Pellegrini & Glickman, 1991) menunjukkan bahwa anak yang pasif (yaitu mereka yang diarahkan oleh orang dewasa dan noninteraktif) kurang kompeten dibanding anak yang berorientasi pada teman sebaya dan aktif melibatkan diri dalam kegiatan bermain.  Kegiatan bermain ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis utama, yaitu
1.      Kegiatan bermain fantasi (symbolik/pretend/imaginary play)
2.      Gim (game) yaitu permainan yang terstruktur dan mempunyai seperangkat aturan baku dan bersifat kompetitif.
Kegiatan bermain fantasi dapat memunculkan berbagai bentuk perilaku yang terkait dengan pemeranan. Di dalam permainan tersebut anak memperoleh kesempatan untuk berbagi peran-peran interaktif, misalnya peran guru-murid, pedagang-pembeli, dokter-pasien, dsb. Dalam permainan ini anak dituntut untuk mampu beradaptasi terhadap peran yang sedang dimainkannya dan setting yang telah disepakati dengan teman bermainnya, responsif terhadap akting temannya, terampil berkomunikasi secara efektif, mampu menerima kritik bila respon yang diberikannya tidak sesuai dengan ekspektasi temannya, dan mampu berperilaku atau berujar yang dapat menimbulkan respon positif.
Dalam gim berkelompok, Waters dan Sroufe mengamati bahwa dalam permainan semacam ini anak dituntut untuk menunjukkan perilaku yang sesuai dengan seperangkat peraturan tertentu, dan anak berusaha melakukan permainan tersebut sebaik mungkin karena mereka ingin mempertahankan interaksinya dengan teman-teman sebayanya, dan dengan demikian anak-anak tersebut berusaha menunjukkan kompetensinya. Di samping itu, Waters dan Sroufe mengamati bahwa di dalam gim berkelompok, anak harus menunjukkan keterampilan sosial dan kognitif yang baik agar dapat disukai oleh teman-temannya. Dengan demikian, apa yang dilakukan anak di dalam gim tersebut juga dapat memprediksi popularitasnya di kemudian hari.

E.     Intervensi bimbingan dan konseling untuk Membantu Perkembangan Kompetensi Sosial Anak Tunanetra
Sikap negatif masyarakat terhadap ketunanetraan, sebagai salah satu variabel lingkungan sosial, tampaknya merupakan faktor utama penghambat perkembangan anak tunanetra. Hal ini tercermin dalam hasil pengamatan Helen Keller (seorang tunanetra yang juga tunarungu tetapi selalu menampilkan yang terbaik dalam segala yang dikerjakannya) bahwa pada diri individu tunanetra bukan ketunanetraannya itu sendiri yang merupakan penghambat utama perkembangannya, melainkan sikap orang awas terhadap mereka yang tunanetra (Dodds, 1993).
Intervensi bimbingan dan konseling yang ditujukan untuk mengoptimalkan pencapaian tugas-tugas perkembangan anak itu seyogyanya diarahkan kepada keseluruhan sistem tersebut. Intervensi bimbingan dan konseling semacam ini dikenal dengan model bimbingan perkembangan dengan pendekatan ekologi.
Dalam perspektif yang lebih luas, model bimbingan perkembangan menempatkan anak sebagai target layanan bimbingan dan konseling tidak hanya terbatas pada perannya sebagai siswa di dalam organisasi sekolah, tetapi dalam perannya sebagai anggota berbagai macam organisasi kehidupan dan budaya (Kartadinata, 1999). Strategi layanan bimbingan dan konseling menjadi lebih berupa upaya untuk mengorganisasikan dan untuk menciptakan “develoopmental human ecology” (Blocher, 1974; Blocher & Biggs, 1983 - dalam Kartadinata, 1999).
Dalam ekologi manusia (human ecology), Blocher mengemukakan bahwa permasalahan sentralnya lebih dari sekedar permasalahan yang terkait dengan kelangsungan hidup organisme secara fisik. Untuk mencapai potensinya secara penuh, manusia harus berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, sering kali harus dilakukan sepanjang hidupnya. Dengan demikian, developmental human ecology terutama memperhatikan transaksi antara individu dengan lingkungan belajarnya.
Lingkungan belajar mempunyai pengaruh yang kuat karena tiga alasan. Pertama, faktor-faktor di dalam sebuah lingkungan belajar memenuhi atau tidak memenuhi kebutuhan atau motif yang sangat mendasar. Kedua, lingkungan belajar itu intensif dan berkelanjutan; artinya, individu cenderung menghabiskan banyak waktunya di dalam lingkungan belajar itu dan melibatkan dirinya dalam berbagai macam peran di dalamnya. Ketiga, lingkungan belajar memberikan timing yang tepat untuk interaksi tertentu.
Blocher mengidentifikasi bahwa sebuah lingkungan belajar sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen penting, yaitu
1.       Opportunity structure
Yaitu ditentukan oleh jumlah dan rentangan situasi di mana partisipan dapat mencobakan perilaku barunya yang dapat mengarah pada keberhasilan, penguasaan atau kontrol dalam situasi lingkungan yang bersangkutan
2.       Support structure
Yaitu struktur dukungan, adalah sistem pemberian bantuan kepada individu untuk mengatasi stress yang sering mengiringi kesempatan belajar individu. Struktur dukungan tersebut terdiri dari dua elemen, yaitu (1) dukungan yang berupa jaringan hubungan antarmanusia (human relationships), (2) dukungan untuk memberikan strategi dan kerangka kerja kognitif
3.       Reward structure
Yaitu struktur imbalan (reward structure), adalah komponen lingkungan yang merangsang individu untuk memiliki antusiasme dan komitmen untuk mengatasi tantangan dan menuntaskan tugas-tugasnya
Berdasarkan komponen-komponen lingkungan yang potensial sebagaimana dipaparkan di atas, Blocher (1987) merumuskan tiga prinsip dasar ekologi sebagai berikut:
1.       Agar sebuah lingkungan belajar dapat mempertahankan kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan bagi anggota-anggotanya, maka di dalam lingkungan tersebut harus tersedia satu struktur kesempatan yang luas yang di dalamnya terdapat berbagai macam tantangan dan tugas baru di mana para anggota tersebut dapat menemukan cara-cara baru untuk mencapai keberhasilan dan penguasaan.
2.       Agar sebuah lingkungan belajar dapat mempertahankan kelangsungan pertumbuhan bagi para anggotanya, di dalam lingkungan tersebut harus terdapat jaringan dukungan dan sumber strategi atau kerangka kerja kognitif yang efektif untuk membantu para anggota lingkungan tersebut mengatasi stress, menghadapi berbagai tantangan, dan menyelesaikan tugas-tugasnya.
3.       Agar sebuah lingkungan belajar dapat mempertahankan kelangsungan pertumbuhan bagi para anggotanya, maka lingkungan tersebut harus memungkinkan anggota-anggotanya memperoleh imbalan yang signifikan, baik imbalan intrinsik dan psikologis maupun ekstrinsik dan material. Kemungkinan untuk diperolehnya imbalan tersebut harus jelas, konsisten, dan wajar, sesuai dengan usaha yang dilakukan dan harus terjangkau oleh semua anggota.
Di samping itu, pendekatan ekologi berfokus pada hubungan yang menyeluruh antara kebutuhan individu dengan sumber-sumber yang tersedia di dalam masyarakatnya dan tanggung jawab institusi kemasyarakatan terhadap warganya. Oleh karena itu, model bimbingan perkembangan dengan Pendekatan ekologi tampaknya merupakan strategi intervensi bimbingan dan konseling terlengkap dalam membantu perkembangan kompetensi sosial anak tunanetra. Model ini memandang permasalahan yang dihadapi anak tunanetra itu dari perspektif keseluruhan sistem di mana anak merupakan salah satu dari anggotanya, dan upaya bantuan yang hendak diberikan kepadanya senantiasa dikaitkan dengan komponen-komponen lain di dalam sistemnya itu, sehingga perkembangan yang terjadi pada diri anak merupakan bagian dari perkembangan sistem itu secara keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar