A.
Perkembangan Kompetensi Sosial pada Anak
Pengembangan kompetensi
sosial pada anak merupakan hal yang sangat penting. Berdasarkan hasil berbagai
penelitian yang dilakukan dalam rentang waktu tahun 1990-2000 (Parker &
Asher, 1987; Hartup & Moore, 1990; Rogoff, 1990; Ladd & Profilet, 1996;
McClellan & Kinsey, 1999; Kinsey, 2000 - dalam McClellan & Katz, 2001)
menunjukkan bahwa adaptasi sosial dan emosional anak jangka panjang,
perkembangan akademik dan kognitifnya, dan kehidupannya sebagai seorang warga negara
diperkuat oleh seringnya dia memiliki kesempatan untuk memperkuat kompetensi
sosialnya selama masa kanak-kanaknya.
Pellegrini dan Glickman (1991:1)
mendefinisikan kompetensi sosial pada anak sebagai "the degree to which
children adapt to their school and home environments". Hal ini berarti
kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah dan sekolahnya
merupakan indikator utama kompetensi sosialnya dan untuk beradaptasi anak harus
memiliki seperangkat perilaku verbal dan nonverbal.
Lamb & Baumrind
(Budd, 1985) mengemukakan bahwa karakteristik anak yang memiliki kompetensi
sosial itu mencakup berkemampuan untuk mempersepsi orang lain,asertif, ramah
kepada teman sebaya, dan santun kepada orang dewasa. Dan menurut Benard (1995),
kompetensi sosial itu mencakup kualitas-kualitas pribadi seperti bersifat
responsif, terutama kemampuan untuk membangkitkan respon positif dari orang
lain; fleksibilitas, termasuk kemampuan untuk bergaul dengan orang orang dari
bermacam macam latar belakang budaya; kemampuan untuk berempati; keterampilan
berkomunikasi; dan memiliki rasa humor.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial pada anak adalah
kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungannya, yang ditunjukkan dengan
kemampuannya untuk mempersepsi orang lain secara tepat, asertif, responsif,
berempati, memiliki rasa humor, ramah kepada teman sebaya dan santun kepada
orang dewasa.
Perkembangan kompetensi
sosial dimulai pada saat kelahiran dan maju dengan pesat pada usia prasekolah
(McClellan & Katz, 2001). Dia akan meniru orang dan merespon gerakan yang
serupa dari orang dewasa atau anak yang lebih besar.
Sosialisasi anak tidak hanya
difasilitasi oleh orang tuanya, tetapi juga oleh keseluruhan konteks keluarga
yang dapat mencakup saudara-saudara dan teman-teman yang mendukung orang tua
dan anak itu, yang selanjutnya memperkuat nilai-nilai budaya yang ditanamkan
pada diri anak.
Berdasarkan penelitian
Baumrind (Oden, 1987; Moore, 1992; Darling, 1999) pada masa perkembangan anak,
orang tua menggunakan bermacam-macam metode kontrol dan gaya kepemimpinan dalam
manajemen keluarga (yang selanjutnya disebut “gaya asuh”), yang dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori: (1) authoritarian (dengan tingkat kontrol
yang tinggi); (2) authoritative (dengan otoritas atas dasar pengetahuan dan
memberi pengarahan); (3) permissive (dengan tingkat kontrol ataupun pengarahan
yang rendah); atau kombinasi dari gaya-gaya asuh tersebut.
Ketika anak sudah mulai
berjalan, dia masuk ke dalam konteks teman sebaya, yang memberinya kesempatan
untuk belajar berinteraksi dan mengembangkan pemahaman tentang orang lain.
Dalam konteks rumah, lingkungan tetangga dan sekolah, anak belajar membedakan
bermacam-macam hubungan teman sebaya (peer relationships) – sahabat (best
friends), teman bergaul (social friends), teman dalam kegiatan tertentu
(activity partners), kenalan, dan orang asing (strangers). Dengan membangun dan
memelihara berbagai macam hubungan teman sebaya dan pengalaman sosial, terutama
melalui konflik teman sebaya (peer conflict), anak memperoleh pengetahuan
mengenai dirinya versus orang lain dan belajar berbagai keterampilan interaksi
sosial.
Oden (1987) menemukan
bahwa anak prasekolah kurang mampu membedakan antara sahabat dan sekedar teman
dibanding anak usia sekolah, tetapi mereka mempunyai alasan yang spesifik
mengapa tidak suka berinteraksi dengan teman tertentu. Di kalangan anak-anak
prasekolah dan tahun-tahun pertama usia sekolah, ekspektasi untuk persahabatan
itu berpusat pada kesamaan minat dan hubungan timbal-balik yang konkret.
B.
Peranan Orang Tua dalam Perkembangan
Kompetensi Sosial Anak
Para teoris dan
peneliti tentang perkembangan anak sepakat bahwa orang tua memainkan peranan
yang formatif dalam sosialisasi anak. Ketika mobilitas dan bahasa anak sudah memungkinkannya
untuk mengeksplorasi lingkungannya secara aktif, orang tua mulai memberikan
berbagai pelajaran kepada anak mengenai cara dunia sosial beroperasi dan
perilaku yang diharapkan oleh dunia sosial itu dari anak. Pelajaran tersebut
diarahkan untuk membantu anak belajar memiliki kompetensi sosial – yaitu
perseptif terhadap orang lain, kooperatif, asertif, ramah kepada teman sebaya,
dan santun kepada orang dewasa. Pada saat ini salah satu tugas yang dihadapi
orang tua adalah memperkenalkan anak kepada kelompok teman sebayanya.
Dari hasil
penelitiannya, Baumrind mengidentifikasi empat gaya asuh yang berbeda-beda,
yaitu authoritarian, permissive, authoritative, dan uninvolved, yang
masing-masing berimplikasi terhadap kompetensi sosial anak dalam kaitannya
dengan teman sebayanya dan orang dewasa. Baumrind mengidentifikasi dua dimensi
asuh utama, yaitu: parental responsiveness dan parental demandingness.
Parental responsiveness
(dimensi asuh responsif – juga disebut parental nurturance) adalah dimensi di mana
orang tua secara sadar memupuk perkembangan individualitas anak, membiarkannya
mengatur diri dan menampilkan dirinya sendiri, dan dimensi ini diwujudkan
dengan senantiasa mendengarkan, mendukung dan memenuhi kebutuhan khusus dan
tuntutan anak. Parental demandingness (dimensi asuh penuh tuntutan – juga
disebut parental control) adalah dimensi di mana orang tua menuntut anaknya
untuk terintegrasi ke dalam keutuhan keluarga, dengan menuntut agar anak
menunjukkan kematangannya, mengawasinya, mendisiplinkannya, dan
mengkonfrontasinya bila anak tidak menunjukkan kepatuhan.
·
Authoritarian
Orang tua dengan gaya asuh otoriter
cenderung rendah dalam dimensi responsifnya dan tinggi dalam dimensi
tuntutannya. Orang tua ini menciptakan lingkungan yang terstruktur dan tertata
rapi dengan aturan-aturan yang jelas. Mereka menetapkan standar yang absolut
untuk perilaku anaknya, menerapkan disiplin yang ketat dan menuntut kepatuhan
yang segera, serta kurang menggunakan metode persuasi.
·
Permissive
Orang tua yang permisif cenderung
moderat hingga tinggi dalam dimensi responsifnya tetapi rendah dalam dimensi
tuntutannya. Orang tua dengan gaya asuh ini menerapkan relatif sedikit tuntutan
kepada anaknya dan cenderung inkonsisten dalam menerapkan disiplin. Mereka
selalu menerima impuls, keinginan dan perbuatan anaknya, dan cenderung kurang
memonitor perilaku anaknya. Meskipun anaknya cenderung ramah dan mudah bergaul,
tetapi mereka kurang memiliki pengetahuan tentang perilaku yang tepat untuk
situasi sosial pada umumnya dan kurang bertanggung jawab atas perilakunya yang
salah.
·
Authoritative
Orang tua yang otoritatif tinggi
dalam dimensi responsifnya dan moderat dalam dimensi tuntutannya. Orang tua
dengan gaya asuh ini memonitor dan menetapkan standar yang jelas bagi perilaku
anaknya, bersifat asertif, tetapi tidak intrusif ataupun restriktif. Metode
pendisiplinan yang diterapkannya bersifat suportif, tidak menghukum. Mereka
menginginkan anaknya menjadi asertif dan memiliki tanggung jawab sosial, dan
mampu mengatur dirinya sendiri (self-regulated) serta kooperatif.
·
Uninvolved
Orang tua dengan gaya asuh “tak
peduli” (uninvolved) rendah dalam dimensi responsifnya maupun dimensi
tuntutannya. Dalam kasus yang ekstrim, orang tua ini akan mengabaikan anaknya
atau bahkan menolak kehadirannya, meskipun sebagian besar orang tua dengan tipe
gaya asuh ini termasuk ke dalam kategori orang tua yang normal.
Gaya asuh orang tua
telah ditemukan dapat memprediksi pencapaian anak dalam ranah kompetensi sosial
maupun dalam beberapa ranah lainya termasuk kinerja akademik, perkembangan
psikososial, dan perilakunya. Anak dan remaja yang orang tuanya otoritatif
memiliki kompetensi sosial maupun kompetensi instrumental (kinerja akademik)
yang lebih tinggi daripada mereka yang orang tuanya nonotoritatif. Kemudian
anak dan remaja dari keluarga yang permisif cenderung terlibat dalam perilaku
bermasalah dan kurang baik dalam kinerja sekolahnya, tetapi mereka menunjukkan
harga diri yang lebih tinggi, keterampilan sosial yang lebih baik, dan tingkat
depresi yang lebih rendah.
Anak dan remaja dari
keluarga otoriter cenderung moderat dalam kinerja sekolahnya dan tidak terlibat
dalam perilaku bermasalah tetapi mereka menunjukkan keterampilan sosial yang
kurang baik, harga diri yang lebih rendah, dan tingkat depresi yang lebih
tinggi. Dan anak dan remaja yang orang tuanya tak peduli adalah yang paling
buruk kinerjanya dalam kedua ranah kompetensi tersebut.
C.
Peranan Hubungan Teman Sebaya dalam
Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
Kasus 1 adalah
anak perempuan dengan ketunanetraan berat, anak pertama dari dua bersaudara.
Mereka tinggal di dalam kelompok perumahan keluarga yang bebas dari lalu-lintas
umum.
Dia lebih suka
di rumah karena di rumah ada banyak teman dan banyak mainan”. Dia mengaku
mempunyai banyak teman bergaul di lingkungan sekitar rumahnya, Ini tampaknya
menunjukkan bahwa dia mampu bergaul dan dapat diterima dengan baik di kalangan
teman-teman sebayanya yang awas. Ketika ibunya ditanya faktor-faktor apa yang
menurutnya mungkin mempengaruhi penerimaan sosial yang baik itu, dia
menyebutkan sifat Kasus 1 yang periang, memiliki rasa percaya diri yang tinggi
untuk berinisiatif dalam interaksi sosial, pandai menyanyi, dan memiliki
keterampilan akademik (terutama dalam bahasa dan berhitung) yang lebih baik
daripada teman-teman bermainnya. Di samping itu, dia mempunyai sifat tenggang
rasa yang tinggi, “Mungkin karena dia takut kehilangan teman bermain”.
Dia sudah
terorientasi dengan baik di dalam rumah dan sekitarnya sehingga mampu bergerak
mandiri secara leluasa – hal ini juga dikonfirmasi oleh ibunya. Dia bahkan
menceritakan bahwa dia sering disuruh ibunya pergi ke warung di dekat rumahnya
“untuk membeli pecin”. Dalam bermain, dia hanya mengikuti permainan congklak.
Dalam permainan
lainnya Kasus 1 lebih banyak berfungsi sebagai “penggembira”. Hal tersebut
dikarenakan dia belum mengetahui jenis permainan terstruktur di mana anak
tunanetra dan anak awas dapat sama-sama berpartisipasi secara penuh. Tetapi hal
yang sangat baik dari teman-temannya. Teman-temannya selalu memberi kesempatan
kepadanya untuk sejauh tertentu turut terlibat dalam permainan-permainan itu. Jenis
interaksi di mana dia dapat berperan secara penuh adalah kegiatan bermain
fantasi. Dia sering bermain “anjang-anjangan”, di mana dia sering berperan
sebagai ibu atau sebagai guru, atau sebagai murid bila anak lebih besar
berpartisipasi. Selain itu dia sering bermain sepeda di halaman rumahnya dan
pergi mengaji ke mesjid. Untuk masalah gangguan, tidak pernah ada teman yang
mengganggunya. Hanya saja temannya selalu bertanya mengapa ia tidak bisa
melihat, dan ibunya menjelaskan padanya jika dia ditanyai seperti itu dia bisa
menjawab “Tuhan menciptakan bermacam-macam orang, ada yang dapat melihat, ada
yang tidak, tetapi Tuhan juga memberikan kelebihan dalam hal lain untuk
mengatasinya.”
a.
Konsekuensi dari Buruknya Hubungan Teman
Sebaya
Berbagai studi
menemukan bahwa isolasi atau penolakan oleh teman sebaya pada masa dini
kehidupan anak menempatkan anak pada resiko untuk menghadapi masalah-masalah
sosial dalam kehidupannya di kemudian hari. Penelitian oleh Gronlund, Hymel dan
Asher (Ladd & Asher, 1985) mengindikasikan bahwa antara 6 hingga 11% anak
di kelas tiga hingga kelas enam tidak mempunyai teman di kelasnya. Ladd &
Asher mengemukakan bahwa perasan kesepian merupakan satu masalah signifikan
yang dapat berakibat negatif bagi anak kecil, baik segera maupun jangka
panjang. Bullock mengamati bahwa anak yang merasa kesepian sering tidak
memiliki hubungan sosial yang baik dengan teman sebayanya dan oleh karenanya lebih
sering menunjukkan ekspresi kesepian daripada teman sebayanya yang mempunyai
sahabat.
Penelitian Koch (Ladd
& Asher, 1985) terhadap anak-anak prasekolah menemukan bahwa anak yang
disukai oleh teman-teman sekelasnya lebih baik kemampuannya untuk mentoleransi
rutinitas dan tugas-tugas sekolah daripada anak yang tidak populer di kalangan
teman-temannya. Dalam penelitian oleh Buswell dan Kohn (Ladd & Asher,
1985), ditemukan bahwa anak-anak yang populer pada kedua tingkatan usia
tersebut adalah paling tinggi pula kemungkinannya untuk berprestasi tinggi
dalam pelajarannya.
Anak yang tidak mampu
membina pertemanan yang memuaskan juga akan merasa terpencil dan tidak bahagia
(Asher et al., 1984 - dalam Bullock, 1998). Bagi anak-anak ini, sekolah akan
merupakan tempat yang tidak menyenangkan, dan akibatnya mereka dapat sering
membolos atau putus sekolah sama sekali (Kupersmidt, 1983 – dalam Burton,
1986).
Dalam sebuah studi
retrospektif, Kohn dan Clausen (Ladd & Asher, 1985) menemukan bahwa sampel
orang dewasa yang mengalami gangguan kesehatan mental dibanding kelompok
kontrol yang normal, cenderung menggambarkan dirinya sebagai terpencil atau
tidak mempunyai teman pada usia 13 atau 14 tahun. Hasil-hasil penelitian di
atas menunjukkan dengan jelas bahwa hubungan antarteman sebaya pada masa kecil
itu sangat besar kontribusinya terhadap keefektifan fungsi individu pada
masa-masa kehidupan selanjutnya.
b.
Kontribusi Hubungan Teman Sebaya
terhadap Kompetensi Sosial Anak
Hubungan dengan teman
sebaya tampak mempunyai berbagai macam fungsi. Melalui hubungan teman sebaya,
anak memperoleh kesempatan untuk belajar keterampilan sosial yang penting untuk
kehidupannya, terutama keterampilan yang dibutuhkan untuk memulai dan
memelihara hubungan sosial dan untuk memecahkan konflik sosial, yang mencakup
keterampilan berkomunikasi, berkompromi, dan berdiplomasi (Asher et al., 1982 -
dalam Burton, 1986)
Combs dan Slaby (Budd,
1985) menemukan bahwa hubungan teman sebaya yang baik secara konsisten terkait
langsung dengan dimensi keramahan, partisipasi, pengayoman (nurturance),
kemurahan hati, dan responsif dalam interaksi teman sebaya
Di samping itu, anak
yang banyak melibatkan dirinya dengan teman sebayanya juga dapat memperoleh
kesempatan untuk membangun rasa percaya diri sosial (social self-confidence
(Burton, 1986).
Hartup (1992)
mengidentifikasi empat fungsi hubungan teman sebaya, yang mencakup:
1.
Hubungan teman sebaya sebagai sumber
emosi (emotional resources), baik untuk memperoleh rasa senang maupun untuk
beradaptasi terhadap stress;
2.
Hubungan teman sebaya sebagai sumber
kognitif (cognitive resources) untuk pemecahan masalah dan perolehan
pengetahuan;
3.
Hubungan teman sebaya sebagai konteks di
mana keterampilan sosial dasar (misalnya keterampilan komunikasi sosial,
keterampilan kerjasama dan keterampilan masuk kelompok) diperoleh atau
ditingkatkan; dan
4.
Hubungan teman sebaya sebagai landasan
untuk terjalinnya bentuk-bentuk hubungan lainnya (misalnya hubungan dengan
saudara kandung) yang lebih harmonis. Hubungan teman sebaya yang berfungsi
secara harmonis di kalangan anak-anak prasekolah telah terbukti dapat
memperhalus hubungan antara anak-anak itu dengan adiknya.
Sebagai sumber
kognitif, hubungan teman sebaya memungkinkan anak untuk saling mengajari dalam
banyak situasi, dan pada umumnya kegiatan ini efektif. Hartup (1992)
mengidentifikasi empat jenis pengajaran antarteman sebaya, yaitu
1.
Peer tutoring
Yaitu
transmisi informasi secara didaktik dari satu anak ke anak lain, biasanya dari
“ahli” kepada “pemula”
2.
Cooperative learning
Yaitu
cara belajar yang menuntut anak untuk saling berkontribusi dalam pemecahan
masalah dan berbagi imbalannya
3.
Peer collaboration
Yaitu
pemula yang bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas yang tidak dapat
dilakukan sendiri-sendiri
4.
Peer modeling
Yaitu transmisi
informasi melalui peniruan antarteman sebaya
D.
Peranan Kegiatan Bermain dalam
Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
Kegiatan bermain
merupakan salah satu bentuk interaksi utama antarteman sebaya di kalangan
anak-anak. Penelitian yang dilakukan oleh Pellegrini (Pellegrini &
Glickman, 1991) menunjukkan bahwa anak yang pasif (yaitu mereka yang diarahkan
oleh orang dewasa dan noninteraktif) kurang kompeten dibanding anak yang
berorientasi pada teman sebaya dan aktif melibatkan diri dalam kegiatan
bermain. Kegiatan bermain ini dapat
dikelompokkan ke dalam dua jenis utama, yaitu
1.
Kegiatan bermain fantasi
(symbolik/pretend/imaginary play)
2.
Gim (game) yaitu permainan yang
terstruktur dan mempunyai seperangkat aturan baku dan bersifat kompetitif.
Kegiatan bermain
fantasi dapat memunculkan berbagai bentuk perilaku yang terkait dengan
pemeranan. Di dalam permainan tersebut anak memperoleh kesempatan untuk berbagi
peran-peran interaktif, misalnya peran guru-murid, pedagang-pembeli,
dokter-pasien, dsb. Dalam permainan ini anak dituntut untuk mampu beradaptasi
terhadap peran yang sedang dimainkannya dan setting yang telah disepakati
dengan teman bermainnya, responsif terhadap akting temannya, terampil
berkomunikasi secara efektif, mampu menerima kritik bila respon yang diberikannya
tidak sesuai dengan ekspektasi temannya, dan mampu berperilaku atau berujar
yang dapat menimbulkan respon positif.
Dalam gim berkelompok,
Waters dan Sroufe mengamati bahwa dalam permainan semacam ini anak dituntut
untuk menunjukkan perilaku yang sesuai dengan seperangkat peraturan tertentu,
dan anak berusaha melakukan permainan tersebut sebaik mungkin karena mereka
ingin mempertahankan interaksinya dengan teman-teman sebayanya, dan dengan
demikian anak-anak tersebut berusaha menunjukkan kompetensinya. Di samping itu,
Waters dan Sroufe mengamati bahwa di dalam gim berkelompok, anak harus
menunjukkan keterampilan sosial dan kognitif yang baik agar dapat disukai oleh
teman-temannya. Dengan demikian, apa yang dilakukan anak
di dalam gim tersebut juga dapat memprediksi popularitasnya di kemudian hari.
E.
Intervensi bimbingan dan konseling untuk
Membantu Perkembangan Kompetensi Sosial Anak Tunanetra
Sikap negatif
masyarakat terhadap ketunanetraan, sebagai salah satu variabel lingkungan
sosial, tampaknya merupakan faktor utama penghambat perkembangan anak
tunanetra. Hal ini tercermin dalam hasil pengamatan Helen Keller (seorang
tunanetra yang juga tunarungu tetapi selalu menampilkan yang terbaik dalam
segala yang dikerjakannya) bahwa pada diri individu tunanetra bukan
ketunanetraannya itu sendiri yang merupakan penghambat utama perkembangannya,
melainkan sikap orang awas terhadap mereka yang tunanetra (Dodds, 1993).
Intervensi bimbingan
dan konseling yang ditujukan untuk mengoptimalkan pencapaian tugas-tugas
perkembangan anak itu seyogyanya diarahkan kepada keseluruhan sistem tersebut.
Intervensi bimbingan dan konseling semacam ini dikenal dengan model bimbingan
perkembangan dengan pendekatan ekologi.
Dalam perspektif yang
lebih luas, model bimbingan perkembangan menempatkan anak sebagai target
layanan bimbingan dan konseling tidak hanya terbatas pada perannya sebagai
siswa di dalam organisasi sekolah, tetapi dalam perannya sebagai anggota
berbagai macam organisasi kehidupan dan budaya (Kartadinata, 1999). Strategi layanan
bimbingan dan konseling menjadi lebih berupa upaya untuk mengorganisasikan dan
untuk menciptakan “develoopmental human ecology” (Blocher, 1974; Blocher &
Biggs, 1983 - dalam Kartadinata, 1999).
Dalam ekologi manusia
(human ecology), Blocher mengemukakan bahwa permasalahan sentralnya lebih dari
sekedar permasalahan yang terkait dengan kelangsungan hidup organisme secara
fisik. Untuk mencapai potensinya secara penuh, manusia harus berinteraksi
secara positif dengan lingkungannya, sering kali harus dilakukan sepanjang
hidupnya. Dengan demikian, developmental human ecology
terutama memperhatikan transaksi antara individu dengan lingkungan belajarnya.
Lingkungan belajar
mempunyai pengaruh yang kuat karena tiga alasan. Pertama, faktor-faktor di
dalam sebuah lingkungan belajar memenuhi atau tidak memenuhi kebutuhan atau
motif yang sangat mendasar. Kedua, lingkungan belajar itu intensif dan
berkelanjutan; artinya, individu cenderung menghabiskan banyak waktunya di
dalam lingkungan belajar itu dan melibatkan dirinya dalam berbagai macam peran
di dalamnya. Ketiga, lingkungan belajar memberikan timing yang tepat untuk
interaksi tertentu.
Blocher
mengidentifikasi bahwa sebuah lingkungan belajar sekurang-kurangnya terdiri
dari tiga komponen penting, yaitu
1.
Opportunity structure
Yaitu
ditentukan oleh jumlah dan rentangan situasi di mana partisipan dapat
mencobakan perilaku barunya yang dapat mengarah pada keberhasilan, penguasaan
atau kontrol dalam situasi lingkungan yang bersangkutan
2.
Support structure
Yaitu
struktur dukungan, adalah sistem pemberian bantuan kepada individu untuk
mengatasi stress yang sering mengiringi kesempatan belajar individu. Struktur
dukungan tersebut terdiri dari dua elemen, yaitu (1) dukungan yang berupa
jaringan hubungan antarmanusia (human relationships), (2) dukungan untuk
memberikan strategi dan kerangka kerja kognitif
3.
Reward structure
Yaitu struktur
imbalan (reward structure), adalah komponen lingkungan yang merangsang individu
untuk memiliki antusiasme dan komitmen untuk mengatasi tantangan dan
menuntaskan tugas-tugasnya
Berdasarkan
komponen-komponen lingkungan yang potensial sebagaimana dipaparkan di atas,
Blocher (1987) merumuskan tiga prinsip dasar ekologi sebagai berikut:
1.
Agar sebuah lingkungan belajar dapat
mempertahankan kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan bagi
anggota-anggotanya, maka di dalam lingkungan tersebut harus tersedia satu
struktur kesempatan yang luas yang di dalamnya terdapat berbagai macam
tantangan dan tugas baru di mana para anggota tersebut dapat menemukan cara-cara
baru untuk mencapai keberhasilan dan penguasaan.
2.
Agar sebuah lingkungan belajar dapat
mempertahankan kelangsungan pertumbuhan bagi para anggotanya, di dalam
lingkungan tersebut harus terdapat jaringan dukungan dan sumber strategi atau
kerangka kerja kognitif yang efektif untuk membantu para anggota lingkungan
tersebut mengatasi stress, menghadapi berbagai tantangan, dan menyelesaikan
tugas-tugasnya.
3.
Agar sebuah lingkungan belajar dapat
mempertahankan kelangsungan pertumbuhan bagi para anggotanya, maka lingkungan
tersebut harus memungkinkan anggota-anggotanya memperoleh imbalan yang
signifikan, baik imbalan intrinsik dan psikologis maupun ekstrinsik dan
material. Kemungkinan untuk diperolehnya imbalan tersebut harus jelas,
konsisten, dan wajar, sesuai dengan usaha yang dilakukan dan harus terjangkau
oleh semua anggota.
Di samping itu,
pendekatan ekologi berfokus pada hubungan yang menyeluruh antara kebutuhan
individu dengan sumber-sumber yang tersedia di dalam masyarakatnya dan tanggung
jawab institusi kemasyarakatan terhadap warganya. Oleh karena itu, model
bimbingan perkembangan dengan Pendekatan ekologi tampaknya merupakan strategi
intervensi bimbingan dan konseling terlengkap dalam membantu perkembangan
kompetensi sosial anak tunanetra. Model ini memandang permasalahan yang
dihadapi anak tunanetra itu dari perspektif keseluruhan sistem di mana anak
merupakan salah satu dari anggotanya, dan upaya bantuan yang hendak diberikan
kepadanya senantiasa dikaitkan dengan komponen-komponen lain di dalam sistemnya
itu, sehingga perkembangan yang terjadi pada diri anak merupakan bagian dari
perkembangan sistem itu secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar