A. Sumber Demokrasi Indonesia
Sejak zaman dahulu indonesia sudah menerapkan demokrasi di
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Mohammad Hatta dalam Padma
Wahyono (1990), desa-desa di Indonesia sudah menjalankan demokrasi, misalnya
dengan pemilihan kepala desa dan adanya rembug desa. Hal tersebut menunjukkan
bahwa demokrasi telah berkembang di indonesia mulai dari daerah pedesaan.
Demokrasi di indonesia berasal dari ideologi bangsa
indonesia yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Indonesia menganut
ideologi pancasila, hal itu berarti demokrasi yang ada di indonesia merupakan
demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi
yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada
kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius,
berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian
Indonesia dan berkesinambungan.
Menurut Prof. Dardji darmo
diharjo, SH, Demokrasi pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber
kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya
seperti, dalam ketentuan-ketentuan pembukaan UUD 1945.
B. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
1.
Demokrasi Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Pada masa revolusi 1945 – 1950
banyak kendala yang dihadapi bangsa indonesia, misalnya perbedaan-perbedaan
antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dengan kekuatan diplomasi,
antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya dan
antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di awal revolusi tidak satupun
perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan. Semua permasalahan itu
baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok kekuatan itu duduk satu meja
untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa tujuan pertama bangsa indonesia adalah
kemerdekaan bangsa indonesia. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan perjuangan
bersenjata dan kekuatan diplomasi bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan.
2.
Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Setelah indonesi merdeka, kini
menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri. Pada periode tahun 1950-an
muncul kaum nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai islam
yang memegang kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa kedua
kelompok inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi di
indonesi.
Undang – Undang dasar 1950
menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari
presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta para menteri yang
mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi
pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata
kurang mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung
jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam
barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif yang menyusun
program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari
tugas oposisi.
Pada umumnya kabinet dalam masa pra
pemilu tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan
dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah
tidak mendapat kesempatan dalam untuk melaksanakan programnya. Pemilu tahun
1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa
demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
Mengingat kondisi yang harus di
hadapi pemerintah indonesia pada kurun waktu 1950-1959, maka tidak mengherankan
bahwa pelaksanaan demokrasi mengaklami kegagalan karena dasar untuk dapat
membangun demokrasi hampir tidak dapat ditemukan. Mereka yang tahu politik
hanya sekelompok kecil masyarakat perkotaan. Para politisi jakarta, meskipun
mencita-citakan sebuah negara demokrasi. Kebanyakan adalah kaum elite yang
menganggap diri mereka sebagai pengikut suatu budaya kota yang istimewa. Mereka
bersikap paternalistik terhadap orang-orang yang kurang beruntung yakni
masyarakat pedesaan. Tanggung jawab mereka terhadap struktur demokrasi
parlementer yang merakyat adalah sangat kecil. Banguan indah sebuah demokrasi
parlementer hampir tidak dapat berdiri dengan kokoh.
3.
Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Di tengah-tengah krisis tahun 1957
dan pengalaman jatuh bangunnya pemerintahan, mengakibatkan diambilmnya
langkah-langkah menuju suatu pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan
Demokrasi Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang didominasi oleh
kepribadian soekarno yang prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi terpimpin diambil
bersama-sama dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini terdapat
beberapa penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya partai-partai
politik dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada
berusaha berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan legitimasi,
bimbingan atau perlindungan. Pada tahun 1960, presiden Soekarno membubarkan DPR
hasil pemilu 1955 dan menggantikanya dengan DPRGR, padahal dalam penjelasn UUD
1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak berwenang membubarkan
DPR.
Melalui demokrasi terpimpin Soekarno
berusaha menjaga keseimbangn politik yang merupakan kompromi antara
kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukan kembali dan memuaskan semua
pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang masa depan bangsanya,
tetapi ia tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima oleh pimpinan nasional
lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya tidak dapat terealisasi.
Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri periode demokrasi
terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi Pancasila.
4.
Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada tahun 1966 pemerintahan
Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai
reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir seluruh
kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan rezim
lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi
Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas negara hukum
dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi manusia baik dalam aspek
kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat
dihindarkan secara institusional. Dalam rangka mencapai hal tersebut, lembaga-lembaga
dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan-ikatan pribadi.
Sekitar 3 sampai 4 tahun setelah
berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang menyimpang dari
cita-citanya semula. Kekuatan – kekuatan sosial-politik yang bebas dan
benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan
sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol
sosial. Kekuatan sosial politik yang diikutsertakan dalam pemilu dibatasi.
Mereka tidak lebih dari suatu perhiasan dan mempunyai arti seremonial untuk
dipertontonkan kepada dunia internasional bahwa indonesia telah benar-benar
berdemokrasi, padahal yang sebenarnya adalah kekuasaan yang otoriter.
Partai-partai politik dilarang berperan sebagai oposisi maupun kontrol sosial.
Bahkan secara resmi oposisi ditiadakan dengan adanya suatu “konsensus
nasional”. Pemerintahan Soeharto juga tidak memberikan check and balances
sebagai prasyarat dari sebuah negara demokrasi.
Pada masa orde baru budaya
feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua sikap ini menganggap
pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat hanya patuh dengan sang
pemimpin. Mental paternalistik mengakibatkan soeharto tidak boleh dikritik.
Para menteri selalu minta petunjuk dan pengarahan dari presiden. Siakp mental
seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan
pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus,
sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai
tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde Baru
mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.
5.
Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui gerakan reformasi, mahasiswa
dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan
soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden Habibie yang didukung
sepenuhnya oleh TNI. Lembaga-lembaga di luar presiden dan TNI tidak mempunyai
arti apa-apa. Seluruh maslah negara dan bangsa indonesia menjadi tanggung jawab
presiden/TNI. Reformasi menuntut rakyat indonesia untuk mengoreksi pelaksanaan
demokrasi. Karena selama soeharto berkuasa jenis demokrasi yang dipraktekkan
adalah demokrasi semu. Orde Baru juga meninggalkan warisan berupa krisis
nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik.
Tugas utama pemerintahan Habibie ada
dua, yakni pertama bekerja keras agar harga sembilan pokok (sembako) terbeli
oleh rakyat sambil memberantas KKN tanpa pandang bulu. Kedua, adalah
mengembalikan hak-hak rakyat guna memperoleh kembali hak-hak azasinya.
Agaknya pemerintahan “Orde
Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi pelaksanaan demokrasi yang selama
inidikebiri oleh pemerintahan Orde baru. Pemerintahan habibie menyuburkan
kembali alam demokrasi di indonesia dengan jalan kebebasan pers (freedom of
press) dan kebebasab berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat berfungsi
sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan yang
dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh.
Membangun kembali indonesia yang
demokratis dapat dilakukan melalui sistem keparataian yang sehat dan pemilu
yang transparan. Sistem pemilu multipartai dan UU politik yang demokratis
menunjukkan kesungguhan pemerintahan Habibie. Asalkan kebebasan demokratis
seperti kebebasan pers, kebebasab berbicara, dan kebebasan mimbar tetap
dijalankan maka munculnya pemerintahan yang KKN dapat dihindari.
Dalam perkembanganya Demokrasi di
indonesia setelah rezim Habibie diteruskan oleh Presiden Abdurahman wahid
sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat signifikan sekali
dampaknya, dimana aspirasi-aspirasi rakyat dapat bebas diutarakan dan
dihsampaikan ke pemerintahan pusat. Hal ini terbukti dari setiap warga negara
bebas berpendapat dan kebebasan pers dalam mengawal pemerintahan yang terbuka
sehingga menghindarkan pemerintahan dari KKN mungkin dalam prakteknya masih ada
praktik-praktik KKN di kalangan pemerintahan, namun setidaknya rakyat tidak
mudah dibohongi lagi dan pembelajaran politik yang baik dari rakyat indonesia
itu sendiri yang membangun demokrasi menjadi lebih baik. Ada satu hal yang
membuat indonesia dianggap negara demokrasi oleh dunia Internasional walaupun
negara ini masih jauh dikatakan lebih baik dari negara maju lainnya adalah
Pemilihan Langsung Presiden maupun Kepala Daerah yang dilakukan secara
langsung. Mungkin rakyat indonesia masih menunggu hasil dari demokrasi yang
yang membawa masyarakat adil dan makmur secara keseluruhan
C.
Pelaksanaan
Demokrasi di Indonesia
Demokrasi indonesia telah berkembang
sejak zaman penjajahan sampai dengan saat ini. Banyak perubahan yang telah
dilakukan untuk mencapai demokrasi yang adil bagi semua pihak. Demokrasi yang
berjalan di Indonesia saat ini dapat dikatakan adalah Demokrasi Liberal. Dalam
sistem Pemilu mengindikasi sistem demokrasi liberal di Indonesia antara lain
sebagai berikut:
1. Pemilu multi
partai yang diikuti oleh sangat banyak partai. Paling sedikit sejak reformasi,
Pemilu diikuti oleh 24 partai (Pemilu 2004), paling banyak 48 Partai (Pemilu
1999). Pemilu bebas berdiri sesuka hati, asal memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan KPU. Kalau semua partai diijinkan ikut Pemilu, bisa muncul ratusan
sampai ribuan partai.
2. Pemilu
selain memilih anggota dewan (DPR/DPRD), juga memilih anggota DPD (senat).
Selain anggota DPD ini nyaris tidak ada guna dan kerjanya, hal itu juga
mencontoh sistem di Amerika yang mengenal kedudukan para anggota senat
(senator).
3. Pemilihan
Presiden secara langsung sejak 2004. Bukan hanya sosok presiden, tetapi juga
wakil presidennya. Untuk Pilpres ini, mekanisme nyaris serupa dengan pemilu
partai, hanya obyek yang dipilih berupa pasangan calon. Kadang, kalau dalam
sekali Pilpres tidak diperoleh pemenang mutlak, dilakukan pemilu putaran kedua,
untuk mendapatkan legitimasi suara yang kuat.
4. Pemilihan
pejabat-pejabat birokrasi secara langsung (Pilkada), yaitu pilkada gubernur,
walikota, dan bupati. Lagi-lagi polanya persis seperti pemilu Partai atau
pemilu Presiden. Hanya sosok yang dipilih dan level jabatannya berbeda. Disana
ada penjaringan calon, kampanye, proses pemilihan, dsb.
5. Adanya badan
khusus penyelenggara Pemilu, yaitu KPU sebagai panitia, dan Panwaslu sebagai
pengawas proses pemilu. Belum lagi tim pengamat independen yang dibentuk secara
swadaya. Disini dibutuhkan birokrasi tersendiri untuk menyelenggarakan Pemilu,
meskipun pada dasarnya birokrasi itu masih bergantung kepada Pemerintah juga.
6. Adanya
lembaga surve, lembaga pooling, lembaga riset, dll. yang aktif melakukan riset
seputar perilaku pemilih atau calon pemilih dalam Pemilu. Termasuk adanya
media-media yang aktif melakukan pemantauan proses pemilu, pra pelaksanaan,
saat pelaksanaan, maupun paca pelaksanaan.
Demokrasi di Indonesia amat sangat membutuhkan
modal (uang). Banyak sekali biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan Pemilu.
Konsekuensinya, pihak-pihak yang berkantong tebal, mereka lebih berpeluang
memenangkan Pemilu, daripada orang-orang idealis, tetapi miskin harta. Akhirnya,
hitam-putihnya politik tergantung kepada tebal-tipisnya kantong para politisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar