Kamis, 30 Mei 2013

Perilaku Agresif Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku



A.      Definisi dan Pengukuran
Mendefinisikan perilaku agresif sama saja dengan mendefinisikan ketunalarasan. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya definisi tentang perilaku agresif secara baku. Setiap orang dapat menetapkan bahwa suatu perilaku seorang anak termasuk perilaku agresif setelah mengamati, mendengar, atau melihatnya. Akhirnya, penetapan perilaku agresif tersebut tidak sangat bersifat subyektif. Hal tersebut dikarenakan setiap orang memiliki kriteria tersendiri. Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan atas satu kriteria perilaku agresif. 
Bandura (1973), menetapkan beberapa kriteria perilaku agresif yang dapat dijadikan sebagai suatu patokan, yaitu :
1.    Karakteristik perilaku ini sendiri (apakah serangan fisik, membuat malu, merusak barang milik, dan sebagainya), apapun pengaruhnya kepada korban
2.    Intensitas perilaku, di sini perilaku dengan intensitas tinggi (berbicara sangat keras pada seseorang) dianggapagresif, sedangkan perilaku dengan intensitas rendah (berbicara pelan – pelan) dianggap tidak agresif
3.    Ekspresi sakit, luka, atau perilaku menghindar dari penderita tindakan
4.    Kesengajaan oleh perilaku
5.    Karakteristik pengamat (misalnya jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, latar belakang etnis, pengalaman dengan perilaku agresif, dan sebagainya)
6.    Karakteristik perilaku tindakan (misalnya usia, jenis kelamin, pengalaman dengan perilaku agresif, dan sebagainya)

Senin, 06 Mei 2013

Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Pendidikan Anak dengan Gangguan Motorik


Anak dengan gangguan motorik atau biasa disebut dengan istilah anak tunadaksa erat hubungannya dengan anak cacat yang tidak berguna. Anak-anak tunadaksa (cripple) pada zaman Renaissance pernah disebutnya sebagai setan (satan) yang disejajarkan dengan makhluk jahat (evil) dan tidak pantas untuk diberi hidup. Dengan demikian tidak ada artinya sama sekali keberadaan anak-anak tunadaksa.
Namun dengan perkembangan, perhatian masyarakat baik di Indonesia maupun dunia mulai menyadari keberadaan anak tunadaksa atau anak dengan gangguan motorik. Masyarakat mulai mengakui keberadaan dan mulain menyadari bahwa anak tunadaksa tersebut memiliki potensi seperti anak normal jika mendapatkan pelatihan atau pelayanan pendidikan yanng tepat. Oleh karena itu, perkembangan pelayanan pendidikan yang dipelopori oleh para ahli mulai berkembang di seluruh dunia.
Dr. William John Little merupakan seoranng ahli ilmu kedokteran yang pertama kali tertarik meneliti dan menolong anak – anak yang menunjukkan gejala spastik diplegia pada tahun 1861. Hasil kerja Dr. William John Little kemudian diikuti ahli – ahli lain, seperti Dr. Sigmund Freud (1883) dan Sir Willian Osler (1889).
Berdirinya rumah sakit yang menerima pasien-pasien tunadaksa di Boston tahun 1862, yang kemudian menyebar ke negara-negara lain. Penyebaran perkembangan  pelayanan bagi anak tunadaksa terutama dalam aspek pendidikan di dunia, diantaranya :

TEORI – TEORI BELAJAR

1.      Teori Belajar Behavioristik
a.       Pengertian
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.
b.      Tokoh dan Pendapat
Ø  Thorndike, meurutnya belajar adalah proses interaksi antara stimulus (apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera) dan respon (reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan). Menurut Thorndike terdapat tiga hukum belajar yang utama, yaitu hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan.Teori Thorndike ini disebut juga teori koneksionisme (Connectionism).